Selasa, November 04, 2008

Mengenai Prioritas

Kembali mengenai prioritas. Setiap orang hidup dengan banyak pilihan dan kesempatan, tapi untungnya manusia punya keterbatasan sehingga dia tidak harus menjadi tamak untuk menggenggam semua kesempatan yang ditawarkan padanya. Dengan keterbatasannya (waktu, fisik, pikiran) dia jadi harus mau berbagi dengan orang lain untuk kesempatan baik itu. Lalu, karena dia harus memilih, hendaknya setiap orang punya PRIORITAS.

Prioritas ini disusun berdasarkan visi, misi, dan prinsip seseorang. Kadang, prioritas yang dipilih satu orang akan dianggap 'aneh' oleh orang lain, itu tidak masalah. Karena yang mengerti Strength, Weakness, Oppotunity dan Target nya tentunya adalah yang bersangkutan.

Contoh kasus begini. Ada sorang wanita yang sedang dalam puncak karirnya, dan saat itu dia diberi anugerah kehamilan. Karena sudah lama dia menunggu promosi jabatan itu, akhirnya dia menomerduakan kehamilannya, dan mengutamakan (memprioritaskan) karirnya. Salahkah wanita itu? Bagaimana menurut Anda?

Menurut saya, tidak ada yang salah dalam menempatkan prioritas, asalkan dia punya alasan kuat ketika menjalani pilihannya, dan mengerti semua konsekuensi logis yang terbit dari pilihannya. Pandangan ketidaksetujuan dari pihak lain itu pastinya terbit dari hasil pemikiran berlandaskan budaya, sosial, dan etis yang berlaku di masyarakat. Katakanlah, ketika wanita memilih karir daripada anak di Amerika tentu lebih mudah dimengerti dibandingkan di Indonesia. Atau, di Jakarta dibanding di Jogja. Nah, lalu kembali kepada 'ketahanan diri' wanita yang menentukan pilihan itu, ketika menghadapi 'cercaan' atau komentar orang. Kalau dia stand firm pada ketetapan hatinya, dan punya pertimbangan yang terbaik untuk prioritasnya, ya baguslah.

Lalu jika ditarik ke diri saya sendiri, saat ini prioritas saya adalah menjadi ibu dibandingkan wanita karir (wanita bekerja). Beberapa teman ada yang bilang 'sayang kesempatannya' lalu 'kerja dan anak bisa sejalan kok'. Trimakasih atas perhatian dan sarannya, tapi bagi saya prioritas saya adalah menjadi seorang ibu dulu, dan itu tidak bisa disambi dengan bekerja. Nanti ketika berjalan, pasti akan banyak pandangan, omongan, komentar dari orang lain. Nikmati sajalah, betul bukan? Karena kita yang menjalani pilihan atas prioritas kita, dan orang lain adalah penggembira.

Selamat menikmati prioritasmu!

Senin, November 03, 2008

Aku Hanya Ingin Bilang Cinta Padamu

Aku menutup mata untuk terakhir kalinya, saat kurasakan sakit ini menggigit di sekujur tubuhku. Dan untuk segala sisa tenaga yang kupunya, aku bisikkan 'aku cinta padamu, dari dulu'. Dan sayangnya, pemandangan terakhir yang kulihat adalah mata yang terbelalak cemas menahan tangis dan mulutmu yang ternganga meneriakkan namaku...
***

Bulan ini bulan dua, di tahun dua ribu satu. Aku bukan teman barumu, karena kita bertemu di sekolah lanjutan atas. Ya, aku bukan temanmu, aku muridmu. Saat itu usiaku baru enambelas, dan kamu memperkenalkan diri sebagai guru Kimia. Aku buang muka, aku benci Kimia. Aku sudah bertekad untuk masuk IPS kelas tiga nanti. Lalu kamu mengabsen seisi kelas, untuk berkenalan. Saat sampai di namaku, alismu bertaut.
"Ratri?" aku mengangkat tangan tapi mataku ke arah luar. Bisik-bisik dan suara menahan tawa terbit di seisi kelas. Sudah kuduga.
"Saya lahir sore hari. Belakangnya Putra Wibawa kan? Maksudnya seorang lelaki berwibawa yang lahir sore hari," jelasku panjang dengan nada dingin. Senyum manis tersungging di bibirmu.
"Nama yang sangat bagus. Nama saya juga mengingkari kecantikan saya: Yoga Sentani," semua tergelak, melupakan betapa femininnya namaku. Walau aku tahu itu bodoh, aku berterimakasih padamu karena membuat posisi kita sama. Dan aku tidak mati malu menyandang namaku untuk tiga tahun ke depan.

"Putra, saya mau bicara. Ini tentang nilai ulanganmu,"
Aku mengangkat kepala dari buku komik yang kubaca, lalu berjalan mengikutimu ke meja guru. Kalau hasilnya buruk, aku sudah punya alasan untuk itu. Dan aku tidak malu dengan nilai jelekku.
"Hasilnya..," kamu membetulkan kacamata bingkai setengah yang bertengger di hidung mancungmu (heit, dari kapan aku tahu hidungmu mancung?).
"..maaf Bu, saya nggak sempat belaja..,"
"..tertinggi di kelas," potongmu. Lalu menyeringai lebar.
"Padahal saya kira kamu tidak tertarik dengan Kimia. Kamu jarang memperhatikan dan yah..terkesan acuh setiap saya mengajar," senyummu maklum. Aku tidak melihat adanya sakit hati di sana karena kamu kuacuhkan.
"Ya..selama ini saya pikir saya juga nggak tertarik Kimia," jawabku asal. Kamu kembali tersenyum. Aku baru sadar, betapa kamu ini sering sekali tersenyum. Dan senyummu itu unik. Saat ujung kananmu terangkat, akan ada lesung kecil terbit di pipi kananmu, lalu ujung kiri akan menyusul, dan matamu menyipit ramah.
"Jadi, sekarang, dengan nilai tinggimu sementara kamu tidak belajar, bolehkan saya minta tolong?" lanjutmu. Aku menggigit pipi dalamku.
"Apaan, Bu?"
"Hmm..wakili kelasmu jadi duta olimpiade Kimia tingkat propinsi," ujarmu santai. Mataku membulat.
"What?? Bukan berarti karena sekali ulangan saya nilainya tinggi, saya trus jadi jago Kimia dong Bu," protesku. Setengahnya karena tidak percaya diri juga. Kamu lagi-lagi menyeringai. Kali ini beda dengan senyuman. Kamu akan membuka mulutmu membentuk setengah bulan, dan gigi putihmu itu terpacak sempurna di sana. Dua lesung pipit itu menyempurnakan wajah bayi mu.
"Jelas tidak, Putra. Tapi kita punya waktu dua bulan untuk pemahaman intensif Kimia, sebelum nanti babak pertama olimpiade. Setelah dua bulan kita akan tahu, kamu siap atau tidak,"
"Tapi jangan cuma saya," potongku cepat.
"Hmm..kita akan ambil beberapa anak yang nilainya baik dan berminat dengan kimia juga. Di sana nanti kita adakan pembelajaran Kimia yang asyik bersama-sama," kamu tersenyum, nampak puas telah bisa membuatku tidak menolak.
Baiklah, aku memang bukan anak baik. Tapi aku juga bukan anak tidak sopan yang menolak permintaan guru, apalagi demi sekolah. Kakakku yang wakil ketua OSIS pasti bisa membuatku di ospek berkali-kali kalau itu terjadi.
Aku membenarkan poniku yang jatuh menutupi dahi.
"Kita lihat nanti, Bu," jawabku sok menggantung.
"Kita mulai lusa, jam tiga sepulang sekolah," ujarmu akhirnya tanpa memperdulikan setengah keenggananku.

Dan, sial. Ternyata aku memang jadi menyukai Kimia. Ralat, mencintai. Dan itu karena kamu. Aku memang tidak bodoh, tapi selama ini aku tidak menggunakan imajinasi dan alur pikir untuk merasionalisasi rumus Kimia yang menyebalkan. Aku hanya menghafalkan, dan kamu dengan sukses membuatku merangkai cerita dari rumus-rumus yang membuat kepala sakit. Satu bulan bersama di kelas intensif persiapan olimpiade ini, juga membuatku bertambah akrab dengan teman-teman kelas lain. Aku memang cuek, tidak merasa mereka penting pada awalnya. Tapi kehangatan yang ditawarkan Ina, Budi, Rayi, Mulia membuatku betah dan tidak merasa sebagai rival. Kami adalah kelompok belajar Kimia. Berkat mereka, aku sekarang memotong rapi rambutku, memasukkan baju seragamku dan memakai sepatu dengan benar -tidak menginjak bagian belakangnya lagi.
Siang ini, beberapa kali aku menangkap basah dirimu sedang mengamatiku lekat dan tersenyum sendiri. Dan anehnya, aku jadi berdebar-debar, dan malahan aku yang salah tingkah.

"Putra, kamu sudah belajar tentang oksidasi? Ajari aku sebentar dong," pinta Rayi siang itu, sebelum tes seleksi Kimia diadakan. Sudah tepat dua bulan, dan hari ini dari antara kami akan dipilih dua orang sebagai wakil. Sesaat kami diskusi, Rayi manggut-manggut mengerti.
"Yak, semua duduk di bangkunya sendiri-sendiri, selang seling satu," suara bass pak Joko memberi komando. Sesaat aku terdiam, sebelum beranjak ke kursiku. Di mana kamu?
Sampai akhir tes, batang hidung mancungmu belum nampak. Aku jadi merasa sepi, sedikit.
"Bu Sentani ke mana?" tanyaku akhirnya pada Mulia. Dia mengangkat bahu.
"Put, Mul, setelah ini kita ke rumah sakit ya," ujar Ina dari bangku depan. Rayi dan Budi mendekat.
"Ada apa, Na?" tanya mereka bersamaan.
"Bu Sentani operasi angkat kandungan. Tumor rahimnya stadium lanjut....," terangnya. Atau setidaknya hanya itu yang bisa kutangkap karena aku sudah kehilangan pikiranku.

"Untung masih hidup," Mulia mengelap keringat di dahinya. Teman-teman lain yang datang kemudian di lorong rumah sakit mengerutkan alis.
"Kenapa?" Rayi bertanya.
"Itu," Mulia menunjukku dengan dagu, "Ngebut kayak kesetanan. Panik banget sepertinya,"
Aku diam saja, mendengar pembicaraan mereka sayup-sayup. Permenku kugigit kuat-kuat. Dorongan kuat untuk menghisap rokok yang sudah kuhentikan sejak dua bulan ini mendadak timbul lagi seiring rasa kuatirku yang membuncah. Tapi aku ingat, kamu tidak suka asap rokok.
"Ayo ke bangsal," ajakku dingin pada mereka. Sedingin telapak tanganku yang mengkuatirkanmu.

"Jangan diajak bicara ya, kondisinya masih lemah," ujar Suster yang menjaga ruang perawatan intensif itu. Kami masuk bergantian, itupun hanya lima menit perorang. Aku harus berganti sandal dan memakai baju steril. Jika harus berbaju zirahpun, aku mau demi melihatmu.
Dan, aku hampir pingsan melihatmu terbaring lemah dengan masker oksigen menutupi senyum manismu. Kacamata yang tidak kamu pakai membuatku tahu betapa lentik bulu matamu. Tapi itu setengah terpejam. Aku ingin berteriak keras supaya kamu terbangun penuh dan menegurku lagi dengan teguran lembut tegasmu.
Tanpa kusadari aku telah mengenggam tanganmu, dan kamu membuka kelopak matamu sedikit, lalu lesung pipit itu nampak di pipimu. Lalu pejam lagi.
Keributanpun seketika terjadi.
"Tekanan darahnya turun lagi, Dok!!" seru seorang perawat yang membuatku segera melepaskan genggamanku. Seorang dokter mendatangi tempat tidurmu, memeriksa mata, dan selang yang tersalir ke bawah tempat tidurmu.
"Perdarahannya masih berlangsung. Cari cadangan donor!" komandonya.
"Darahnya AB, dok, agak susah," jawab perawat di meja seberang yang sibuk mencari infus untuk dipasangkan di tiang pancang.
"Saya AB, ambil darah saya!" seruku spontan.

Satu bulan sejak itu. Satu bulan sejak darahku menyatu di pembuluh darahmu. Aku belum berani menjengukmu karena takut kalap. Padahal aku ingin memberitahumu, aku lolos sampai nasional, dan berangkat besok lusa ke Jakarta. Aku menyalurkan kekalapanku dengan belajar. Mengingat ceritamu. Mengingat ceriamu saat menceritakan dongeng tentang persamaan Kimia. Dan tidur dengan perasaan rindu yang baru kusadari akhir-akhir ini.

Budi menepuk pundakku bangga, setelah Kepala Dinas P dan K mengalungkan medali emas di leherku. Aku tersenyum datar. Ini bukan buat aku, kataku dalam hati. Tapi pengganti bunga yang ingin kubawa ke depanmu sambil mengungkapkan isi hatiku.

Di bandara Adisucipto, sebelum aku dan Budi berpisah, Ina menelponku dan mengatakan aku segera ke rumah Bu Sentani karena ada pemakaman di sana. Dengan kalut kupacu motorku yang kutitipkan di daerah Janti, menuju rumahmu. Budi lebih dahulu dengan taksi. Dan karena kalap, aku tidak melihat ada lubang besar di depan rumahmu, dan terpelanting keras terbanting berkali-kali. Badanku sakit semua. Rasa hangat di dahiku memberitahuku bahwa ada kulit robek di sana. Aku ingin bangkit tapi sulit, dan aku melihat wajahmu terpacak di depanku. Lho, bukannya kamu yang dimakamkan?
Aku tidak sempat bertanya karena bibrku sudah kelu. Aku hanya sempat mengangsurkan medali emas yang kugenggam dan sedikit robek tergesek aspal, dan membisikkan 'aku cinta padamu' dengan lemah.
****

Bulan ketiga tahun dua ribu delapan.
Ketika aku mengangsurkan seikat bunga di depanmu dan memintamu menjadi kekasihku, kamu terbelalak dan menutup bibirmu dengan tangan.
Tapi aku tidak mau menerima penolakan. Bukan karena aku kasihan padamu yang tinggal memiliki seorang ibu dan rendah diri karena tidak punya rahim lagi, tapi karena aku mencintaimu.
Karena itu aku merengkuh tubuh mungilmu ke dalam pelukanku saat upacara wisuda sarjanaku.

Kalian Mau Jadi Anakku?


Sejak aku dan ayahmu pacaran sekitar enam tahun lebih yang lalu, ayahmu selalu bilang bahwa betapa lucunya anak-anak kami nanti. Percakapan yang awalnya kupikir ’silly’ karena terlalu jauh, itu.. pikirku. tapi justru seiring waktu, itu jadi perekat kami. Membayangkan kalian sebagai buah cinta kami, membuat semua pertengkaran bisa mendingin karena ‘kami tetap ingin jadi orang tua kalian’.

Dan, ketika waktunya tiba, saat aku dan ayahmu sudah resmi menjadi suami istri di depan altar, kami lalu berdoa sebelum becinta untuk pertama kalinya, bahwa jika boleh, biarlah ini jadi awal yang indah untuk jadi awalnya kehidupan kalian. Aku dan ayahmu sangat saling mencintai, dan ungkapan cinta tertinggi ini bukan semata kenikmatan badaniah kami berdua semata. Tapi kami juga ingin segera membagikan luapan cinta kami yang membuncah ini bersama anak-anak. Kamu.

Dan ternyata, saat Tuhan campur tangan dalam segala keajaiban, hadirlah kamu. Saat itu kami memanggilmu ‘dedek’ saja, tanpa tahu ternyata kalian ada berdua di sana. Dan, setelah tahu kalian ada di sana…

Hati kami benar-benar luap dengan rasa bahagia. Bagaimana kami dapat menggambarkannya? Aku dan ayahmu tak punya cukup kosakata untuk itu. Sangat luarbiasa, ajaib, limpah syukur, debar-debar, bahagia.. ah, kalian itu adalah berkah terindah.

Sekarang, kalian sudah sebesar pisang ambon di perutku ini. Tendangan dan sikutan kalian mulai bisa terasa, dan itu menggairahkan ku dan ayahmu. Betapa dia selalu mengajak kalian bicara di udelku yang mulai dangkal, mengusek-usekkan kumis tipisnya di perutku yang mulai tegang, dan tiap kali pulang atau berangkat kerja, kalianlah yang diciumnya terlebih dahulu. Tidak, aku sama sekali tidak cemburu. Karena ciumannya mewakili ciumanku juga. Aku sulit sekali kalau mau mencium perutku sendiri, bukan?

Jadi, kuharap kalian mau jadi anak-anak ku dan ayahmu. Kami akan melimpahi kalian dengan cinta, cinta yang dewasa dan kadang galak, tanpa membedakan atau menyamakan kalian walau kalian dibesarkan bersamaan di perutku. Kami akan selalu membuat kalian nyaman menjadi seorang pribadi, tanpa memaksakan keinginan kami padamu, karena kami tahu kalian adalah makhluk yang punya takdir sendiri yang sementara dititipkan Tuhan untuk kami temani. Besok nanti, kalian akan terbang dengan gagah. Dan tugas kami adalah menguatkan sayap-sayap kalian. Kami punya tangan yang cukup untuk menangani popok-popok kalian, hati yang luas untuk mencintai kalian, tempat tidur yang hangat untuk kalian, dan panci yang besar untuk merebus sop untuk kalian. Jemuran kami luas untuk menampung semua baju kalian, rumah kami luas untuk lari-lari kalian, kami juga sudah beli kolam karet untuk kalian belajar berenang. Dan, kepala kami sudah penuh dengan kalian.

Jadi, mau kan jadi anak-anak kami?

Karena kami setengah mati merindukan kalian.

Minggu, November 02, 2008

Menikmati Tendangan

Oh, luar biasa tendangan mereka!!
Perutku yang teregang ini bisa merasakan kaki-kaki kecil mereka menekan-nekan dinding dalam rahim dan terasa sampai di luar. Aku selalu terpesona oleh sensasi rasa kedut yang mengejutkan, dan untuk sesaat aku tak punya kata untuk menggambarkan. hanya, terkadang lalu aku menjawil suamiku dan mengajaknya larut dalam sensasi ini. Dengan antusias dia akan mengelus perutku, mencari denyutan kecil itu, dan mengajak ngobrol si kecil dengan semangat, berharap si kecil akan menendang lagi.
Ah, Tuhan, ini pengalaman luar biasa yang tak tertukar dengan apapun. Terimakasih..

Mencintaimu, karena....(5)


Jadi, bagaimana perasaanku ke Julian?

Ah, kacau. Gara-gara percakapan tentang pengawas minum obat ARV kemarin, yang berbuntut aku berpikir 'bagaimana rasanya menjadi istri Odha -ralat- Julian', aku jadi salah tingkah sendiri. Dia hanya konsultan gratisku untuk program ini. yang berarti, setelah program selesai, hubungan kami selesai. Yang berarti, pembicaraan tidak penting di luar materi program berarti tidak profesional. Karena itu, kuputuskan untuk menjaga jarak lagi. Pertama, dengan memanggilnya 'Pak' lagi.

"Ada apa, Liv?" tanya Ju sedikit heran ketika aku menelponnya untuk rekomendasi pilihan keynote peaker untuk seminar HIV.
"Kok jadi Pak, manggilnya?" tanyanya geli. Aku mendesah tak sabar.
"Gak papa, jaga profesionalitas aja," jawabku ketus. Ju terdiam sejenak, agak kaget sepertinya.
"Memangnya, dengan kamu manggil aku Mas atau langsung nama, kita otomatis jadi nggak profesional?" dia membalik pernyataanku.
"Meminimalisasi rasa kurang profesional aja," jawabku sekenanya dan langsung pamit dengan ketus. Dan, seharian itu aku uring-uringan.
Di penghujung hari, aku sudah melukai hati semua rekan kantorku dengan perkataan kasar dan ketusku dengan alasan tidak jelas. Dan semua berpikir, saat itu aku sedang menstruasi. Bahkan, Agus menebakku sedang menjalani masa pre menopause. Sial..tapi terserah apa kata mereka!!

Yang penting, aku sedang kesal!!
Aku sedang gundah!!
Aku sedang mengingkari...
Mengingkari..
Mengingkari..

Apa, Liv?
Ketertarikanmu kepada Ju secara personal?

Nah, itu yang membuatku gundah. Sebenarnya aku tertarik pada Ju karena murni pribadinya atau karena status HIV nya -yang positif- yang malah membuatku semakin lekat?
Dia membalikkan ide dan bayanganku tentang profil seorang Odha yang tidak berdaya. Dia gambaran sosok Odha yang berdaya dan inspiratif. I'm captured. I get trapped. Oleh 'pesona' nya. Dan aku jadi gundah. rasa ini mau kubawa ke mana?

Beberapa hari aku tidak menghubungi Ju, dan dia menghubungiku lebih dahulu dalam seminggu ini. Lewat telepon.
"Ya, hallo," formal, karena yang terpampang di layar adalah nama asing. Aku tidak menyimpan nomer Ju -belum-, karena selama ini telpon kami dari kantor ke kantor.
"Liv," ujarnya singkat. Hatiku mencelos. Ju!
"Ya," balasku juga singkat, menutupi debaran hatiku.
"Gimana perkembangan progam untuk Hari AIDS mendatang?" aku terdiam sejenak.
"Baik, Pak," bertahan dalam profesionalisme tak jelas,"semua pembicara sudah dihubungi,"
"Untuk pembicara dari kepolisian tentang narkoba, sudah dapet?" tanyanya, seperti berusaha mengabaikan panggilan 'Pak' ku padanya.
"Hmm..sudah masuk sih suratnya, tapi konfirmasinya masih dua hari lagi,"
"Coba hubungi Pak Ritongga, Liv. Beliau Kasatserse untuk Narkoba. Aku kenal baik dengannya,"
"Okay, terimakasih, Pak," case closed. Kami sama-sama terdiam.
"Liv," akhirnya Ju bersuara.
"Ya, Pak?" jawabku.
"..aku kangen,"

Dan aku terpaku.

Selasa, April 08, 2008

Gilaaa...

"Waaaaaa....," aku terlonjak mendengar teriakan itu. Bergegas aku berlari masuk ke kamar Tyo, mencari apa gerangan yang membuatnya berteriak sedemikian keras. Di kamar, aku mendapati Tyo menutupi kepalanya dengan bantal, dan berteriak di dalam kapuknya. Kusentak bantal yang menutupi mukanya.
"Heh, dodol, ngapain sih kamu teriak gitu? Ngagetin orang, tau!" gerutuku. Bukan apa-apa, yang pertama aku kuatir adalah, lokasi kost Tyo ini bersebelahan dengan rumah pak RT. Dan tadi waktu aku memarkir mobil dan keluar menuju kamar Tyo, ada bu RT di depan rumah -sedang menyapu- dan aku bersapa dengannya. Itu berarti, orang sebelah kost tahu siapa yang di sini. Kalau tiba-tiba Tyo berteriak seperti itu, mereka pasti berpikir bahwa aku yang ngapa-ngapain Tyo. Pencemaran nama baik untukku.
"Waa..," teriakannya terputus setelah menyadari di mukanya tidak ada peredam lagi. Lalu dia nyengir lebar. Dengan sebal, kulemparkan bantal ke mukanya lalu beranjak menuju pintu, mau pulang.
"Eit eit...Shan, tunggu.. aku cuma becanda kok teriaknya..," Tyo bangkit dari tempat tidurnya dan menahan tanganku. Aku merengut.
"Becandanya gak tepat, tau. Lagi mikir nih," ujarku galak.
"Mikir? Mikirin aku kan? Kan? Kan?" paksanya kocak. Aku semakin merengut. Sebenarnya untuk menyembunyikan senyumku melihat tampang memelasnya.
"Iya jelas, mikirin gimana cara nolak kamu. Udah ngotot, maksa, idup, lagi,"
Tyo terkekeh.
"Shani sayang.. jadi pusing kan mikirin itu? Makanya nggak usah dipikirin deh.. Terima saja aku..," aku memutar badan, menghadapinya.
"Jangan bercanda lagi deh, Yo! Aku nggak mau kamu isengin lagi. Cape, tau!"
"Siapa yang bercanda?"
"Ya kamu! Buat apa bilang 'aku cinta kamu', 'mau jadi suamimu' seperti itu? Bukan candaan yang bagus, tau!"
"Siapa yang bercanda?"
"Ya kamu!"
"Kata siapa aku bercanda?"
"Kata....,"
Kalimat itu menggantung di udara antara wajahku dan wajahnya. Tyo menyeka mataku dengan sayang. Wah, tanpa sadar aku menangis. Mendapat sentuhan tangannya, tangisku malah menjadi. Sial..
Tyo menarik kepalaku ke dadanya. Sesaat aku memuaskan isakanku.
"Siapa yang bercanda, Shani? Kamu tahu, aku mengatakan itu lebih dari seratus kali untuk meyakinkanmu. Tapi kamu yang membentengi dirimu dengan berusaha mempercayai kebohongan yang kauciptakan sendiri bahwa omonganku itu canda. Padahal aku sudah meyakinkan berkali-kali kan?" ujarnya lembut.
"Harus dengan cara apalagi Shani?" aku semakin terisak.
"Ya..tapi..tapi.. masa kamu serius?" tanyaku terbata.
"Kenapa nggak?"
"Kok kenapa? Ya karena..karena..," aku menarik ingusku.
"..karena aku positif, mantan junkie..orang tua mana yang mau aku jadi menantunya? Cowok mana yang mau aku jadi istrinya?"
"..orangtuaku. Dan cowok itu, aku," sahutnya tegas. Huuuu..uuhh.. aku menangis makin keras.
"Hussh..sayang, kalau kamu nangis begini kok kayak cewek beneran ya?" goda Tyo sambil mengelus punggungku dengan sayang. Aku terpaksa tertawa. Ya, aku jarang sekali nangis. Bahkan dulu waktu didiagnosis HIV positif aku nggak menangis. Aku menangis karena ibu pingsan mendengarnya, lima tahun lalu.
Beberapa saat, isakanku mereda. Tyo mengambilkan segelas air.

"Kenapa kamu memilihku? Kamu cakep, negatif, insinyur, dan banyak cewek mau sama kamu. Kenapa aku?"
"Karena kamu cantik, positif, psikolog, banyak cowok mau sama kamu..," dia mengecup keningku.
"Karena kamu Shani. Shani yang luar biasa. Positif HIV dan positif banyak hal. Itu sudah cukup untuk membuatku jatuh cinta sejak pertama kali ketemu,"
"Tapi bersamaku kamu akan repot..untuk punya anak pun kita harus atur..," ujarku masih agak terbata.
"Buat apa aku ikut pelatihan HIV/AIDS kalau untuk itu pun aku harus keberatan? Dan anak bagiku nomer dua. Nomer satu adalah kamu, kamu, dan kamu," dia mendekati wajahku.
"Aku mau mendampingimu di sepanjang hidupku. Apapun risikonya. Kubeli satu truk kondom kalau perlu," aku tersenyum, dan Tyo mencium senyumku.
"Jadi..," godanya
"..apa jawabannya, Shani?"
Aku berpikir.
"Jawabannya...,"
"Kamu gilaaa, tau!!!" Tyo gantian merengut, lalu merengkuh pipiku.
"Jawab yang bener...," desisnya sok galak, dua sentimeter di depan mataku.
"Iya deh..mau..mau..aku mau nikah sama kamu, mau banget malah..," jawabku akhirnya.
Tyo bersorak, tertawa kegirangan dan menghujaniku dengan ciumannya.

Ah, untung aku menemukan satu orang gila di dunia ini... terimakasih Tuhan!

Jalan Batuan Kali

Aku menoleh untuk memastikannya berjalan mengikuti di belakangku.
"Kamu nggak apa-apa, honi?" kakinya berdarah sedikit, tapi aku tahu honi-ku tidak mau kupapah apalagi kugendong. Dia menggeleng sambil mematrikan senyum manisnya di sepanjang bibirnya.
"Nggak apa-apa, sebentar lagi sampai, kan?" dia menyeka keringat yang terbit di dahi putihnya. Kubelai dengan selembar tissue, dia memegang tanganku mesra, berterimakasih.
Kami melanjutkan perjalanan.

Di ujung jalan, setelah tigapuluh menit berjuang berpeluh dan nafas yang sedikit panjang pendek menemani kami, kamipun sampai.

Tempat ini masih sealami dulu. Honi-ku tidak berkata-kata, hanya memandangi semua hal di depannya dengan intens, menyesap rasanya, dan aku ikut merasakan kekagumannya.

"Sudah enam tahun, Mas, dan tempat ini tidak berubah," ujarnya penuh kekaguman. Bentangan rumput kapas setinggi pinggang menaungi tepian anak sungai perawan. Kercik airnya memenuhi rongga dada, telinga, dan kepalaku. Dingin, segar. Aku memeluk pinggangnya.

"Dan kenangan tempat inilah yang membuat kita selalu kembali kan, hon?" dia menyandar manja di dadaku. Mengangguk kecil dan meletakkan tangannya di lingkaran tanganku.
"Siapa sangka ujung panjang perjalanan kita akhirnya di altar juga, ya?" desahnya.
"Belum akhir, hon..altar kita itu baru gerbang awal. Perjalanan yang sebenarnya di mulai setelah kita sepakat di depan altar itu. Dan itulah perjuangan kita..,"
"Iya mas..," darah di kaki honi-ku sudah mengering, dan kubasuh dengan air segar sungai. Dia menatapku dengan sayang.

"Siap sesi pemotretan, honi?" aku mengangsurkan sisir dan bedaknya, menyiapkan tripod, dan mencari angle yang paling istimewa untuk foto prewedding kami.

Tempat ini adalah tempat ciuman pertama kami enam tahun yang lalu. Dan tempat rahasia saat kami bertengkar, bermesraan, menangis, bercanda.. hanya kami yang tahu rimbunan cantik ini. Enam tahun bukan waktu yang singkat, dan sebentar lagi kami akan menikah. Di tempat ini aku dan honi-ku akan mengabadikan perjalanan pembelajaran kami dalam bingkai buatan kami sendiri. Hanya kami berdua, sejak awal bahtera dan mengarunginya.

Aku tersenyum melihat honi-ku berdandan di bawah pohon. Sungguh aku mencintainya.

"Sudah siap mas, coba ke sini, ada briefing sedikit untuk pemotretan ini..," dia melambai supaya aku mendekat. Kuletakkan tripod, menenteng kamera mendekatinya.

"Apa?" dia mendekatkan bibirnya.

"Aku mencintaimu..," bisiknya selembut kupu-kupu, seringan angin..

Kamu, Di Situ

Memandang ke kedalaman matamu
yang meneduhkan itu
membuatku bisa berangan
bahwa membangun rumah denganmu
itu sangat menyenangkan
seperti janjimu.

Memaku ke kehangatan bahumu itu
membuatku berani sandarkan segala letihku
dan segarkan lelahku.

Kamu, di situ.
Untung kamu di situ.
Untung kamu yang akan jadi ayah anakku.

Untung kamu memilih aku
jadi ibu anakmu.

Cape deh..

Melabel orang, aku tidak suka. Mengutuknya bahkan, karena itu berarti nggak menghargai keberadaan seseorang. Taapi hari ini pun, dengan mengutuknya karena melabel orang, aku juga melabel orang. Huuh.. cape deh...

"Bukannya dia itu begini?"
"Bukan, dia itu begitu begita lalu begini..."
"Kan gini gini gini lhooo..."

Menggosip? Dengan judul koordinasi dan mencari lesson learnt dari suatu kejadian, itu melegalkan -dia atau mereka- membuat suatu percakapan yang ujung-ujungnya melabel.

"Hmm..untung kita nggak seperti itu yaa..kejadian ini membuat kita mawas diri supaya nggak kayak begitu yaa..."

Halah..

Lalu mereka pulang dengan puas karena sudah mendapat satu 'pembelajaran'.

Atau satu 'pergosyipan'?

Dunia..dunia..cape deeh...

Rabu, April 02, 2008

Simpangan Jalan Kita

Malam merayap, Fatria bergulung-gulung di kasurnya, gelisah.
"Say, tidurlah, kok berisik amat sih," gerutu Nan, teman sekamar dan sekasurnya. Fat menghentikan letupan kegelisahannya sejenak, tapi kemudian helaan nafas panjang yang berkali-kali terdengar menggelitik kuping Nan.
"Kenapa? Kalau kepanasan hidupin aja tuh kipas anginnya, tapi rabrakin dinding ya. Pilek nanti aku," dia membuka kelopak matanya -sedikit- lalu pejam lagi. Fat terdiam sejenak dan menahan helaan nafasnya. Akhirnya dia tidak tahan lalu beranjak keluar kamar, ke beranda.
Dibukanya kotak pesan di cell phone nya, dan mendapati sederetan nama Raka terpacak di sana. Dia menyentak nafasnya, kesal, tapi ada rasa rindu mendesak rongga dadanya.

"Fat, kamu baru apa?" awalnya begitu. Sesaat dia terdiam. Nama Raka sudah tergeser dari posisi kotak masuknya karena saking lamanya dia nggak kirim kabar.
"Baru pulang dari kantor, dan kangen Jogja," tulisnya. Dan suddenly kangen kamu.
"Cuma Jogja yang dikangenin?" Fat menggaruk kepalanya, mendapati rambutnya sudah agak memanjang dibanding tiga bulan yang lalu, saat pertemuannya terakhir dengan Raka.
"Kangen Jogja dan...," Fat terdiam sejenak ,"..nggak krasa?" tulisnya.
"Dadaku sakit. Aku mau krasa tapi takut ge er," balas Raka. Fat berdebar-debar. Setelah sekian lama Raka menutup gerbang komunikasi mereka, mengapa malam ini dia datang lagi dan menumbuhkan segala rasa yang dulu pernah hampir berkembang penuh? Fat mulai parno, jangan-jangan Raka iseng.
"Kenapa dadamu sakit?" semoga bukan karena virus yang enam tahun lalu terdeteksi ada di tubuhnya. Virus yang menurunkan kekebalan tubuhnya, yang dulu diklaim tidak ada obatnya.
"Karena aku jatuh cinta. Dengan seorang wanita yang tidak bisa kumiliki," Fat merasakan matanya memanas. Raka curhat dia jatuh cinta -entah dengan siapa- kepadanya? Tahu nggak sih dia kalau hatinya sampai sekarangpun masih selalu bergetar mengingatnya? Tega sekali.
"Sama siapa?" Lucky her...
"Sama seorang wanita di ujung Indonesia, yang berjuang di tengah hutan, yang sudah mau menikah, ..," Fat terduduk tanpa sadar. Lemas kakinya. Itu aku, bisiknya dalam hati.

Kenyataan yang sekarang diketahuinya bahwa Raka masih menyimpan bara itu di dadanya untuk Fat membuatnya berdebar tanpa henti setelah percakapan via SMS itu. Sekarang, keinginannya untuk menelpon Raka sangat besar. Setelah ragu beberapa saat, dia men-dial nomer yang dihafalnya di luar kepala itu dan..

"The number you are callin is busy..please try again..," sial, jam segini memang jaringan baru crowded karena iklan promosi murah itu. Provider ini full of customer -dampak berhasilnya advertising mereka.
Ratusan kali mencoba, men-dial, dari posisi duduk, berdiri, jongkok, nangkring di pohon jambu, bersila di lantai beranda...

Nihil.
Provider itu tidak berbaik hati mengerti usahanya untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya. Apalagi letak rumah dinas yang diberikan pemerintah Papua ini terlindungi pohon-pohon besar.

Dengan putus asa dia membuang nafas dan menghempaskan diri di kursi rotan.
"Raka..Raka..," desahnya pelan.
Raka adalah pasiennya yang pertama, HIV positif. Sejak awal dia tidak menyangka -ketika hendak mengobati infeksi jamur di telinganya- sampai orang itu membuka sendiri statusnya untuk keamanan dirinya. Padahal, lewat infeksi telinga pun sebenarnya virus itu tidak menular. Hanya, kata Raka waktu itu, dia sedang dalam pengobatan virus -terapi antiretroviral- sehingga dia harus memberitahukan ke dokternya karena siapa tahu ada interaksi antara obat ARV dan obat telinga. Dengan tersenyum Fat menjawab, semua aman, dan membatin untungnya aku kemarin mengikuti short course tentang HIV.
Sejak empat bulan ditempatkan di puskesmas ujung Papua oleh pemerintah pusat, Fat belum perah menjumpai pasien HIV positif walau Odha Papua banyak. Termasuk concentrated area di Indonesia. Sekarang, Odha pertama yang dijumpainya di Puskesmasnya malahan orang Jogja -hometownnya- yang adalah aktivis HIV dan sedang dalam perjalanan studi banding.

Raka itu hidup, dia penuh semangat, dia memandang dunia dengan positif seiring dengan statusnya, dan tidak segan dia membagikan pengetahuannya, termasuk mempersilakan Fatri mempelajarinya sebagai atlas hidup HIV.

Dan Fat jatuh cinta padanya.

"Aku juga, dok. Tapi..," dia menggenggam jari Fat lembut.
"Kamu sudah tunangan, enam bulan lagi menikah, dan aku tidak mau dan mampu mengganti posisi tunanganmu. Semua yang kau perlukan sudah ada: keamanan, status sosial yang jelas, restu kedua keluarga, ..," Fat diam dan mencoba tetap tegar dengan wajah basah.
"Aku tidak bisa memberikan itu semua. Risiko mu besar jika berjalan bersamaku. Untuk punya anak pun kita harus berpikir banyak kali," dia tersenyum sedih namn tetap manis.
"Dan rasa cintaku tidak mengijinkan hal itu menimpamu, dok..,"

Sekarang Raka membiarkan Fat tahu bahwa dia masih mencintainya.
Beberapa bulan lagi Fat menikah.
Dan malam ini Fat sadar bahwa bara itu masih menghangat.

Burung hantu bertengger di pepohonan ujung jalan sana, ber -uhu dengan sedih, mengiringi aliran sungai kecil di ujung matanya...

Senin, Maret 31, 2008

Pagi yang Ramai

"Selamat datang!!!"
"Oleh-oleh..!!"
"Wa..wa..wa.. ada yang potong rambut!!"

Ramai banget, hari ini semua pulang cuti. Ada mbak Susi dan mbak Rani dengan senyum lebar dan sekeranjang oleh-oleh khas Jogja dan Salatiga (hhmmm..nyammi! Pia gula merah, kripik tahu, kripik kerang, kripik kulit, donat, jambu manisan, hehe kalo ini ada yang made in Medan-Carrefour yak...).

"Gimana kabarnya??" cipika cipiki...
"Sebenere masih pingin cuti lagi yuu..," celoteh riang, gembira, mewarnai pagi ini di kantor.

Nah, sudah lengkap kan formasinya? Masih ada pe er yang harus dibereskan..sebelum phasing out program rehabilitasi Aceh 3 tahun ini.

Ughsss.... tetap semangat yakk!!!

Pohon Kenangan Anang

"Mak, di pohon itu Anang dulu sangkut," cerocos anak kecil lima tahun ketika kami lewat rimbunan semak rumbia. Mak Cut terdiam, menggandeng makin erat.
"Kenapa Anang masih ingat? Itu kan sudah lama sekali? Anang masih kecil pula," sahutku ingin tahu. Mak Cut melirikku, menyuruhku menghentikan tanya lewat tatapannya. Maaf, sudah terlanjur terucap, jawabku lewat pandangan juga.
"Anang sering mimpi, dan kadang nampak waktu itu. Air naik, gelap kotor seperti ular kobra mau mematuk..," tangannya memeragakan tukikan kobra, "lalu ada suara keras, Tante. Boom!! Orang berlarian, Anang terpisah dari Mak, Anang pingsan, dan bangun-bangun sudah sangkut di pohon..," kulirik Mak Cut, wajahnya pias, matanya menerawang. Aku menduga, ingatannya sudah berada di tiga tahun lalu saat tsunami menyapu desa mereka.
"...sebelah Anang nampak babi hutan, Tante.. besar seperti kerbau kakek. Taringnya besar, tajam, Anang hampir nangis. Tapi babi itu nggak lukai Nang, Tante. Dia meringkuk, badannya lindungi Anang dari air bah yang kadang datang," Anang tampak mengenang jasa babi itu.
"..sekitar Nang, terhanyut mayat-mayat.. ada ular juga, ada kambing.. semua campur Tante..,"
Aku merinding mengikuti penuturannya, imajinasiku membentuk kilasan film kisah Anang.
"Nang duduk di rumbia tiga hari..,"
"Makannya gimana Nang?" tanyaku penasaran. Anang menyeringai.
"Ada kulkas hanyut deket Nang, ketika Nang buka, isinya komplit. Ada apel, roti, keju, air... Itu kiriman Alloh," dia tersenyum. Dadaku berdesir.
"Alhamdullilah.. kulkas orang kaya, Tante.. kalau meninggal pasti dia masuk syurga karena membolehkan kulkasnya memberi makan Nang tiga hari," ujarnya. Mak Cut mempercepat jalannya, Anang mengikuti agak kepayahan. Tangan kecilnya menggenggam keranjang bunga tabur. Kubantu dia, dia menolak.
"Sudah sampai, Nang. Ayo diletak," kata Mak Cut lembut, sedikit terbata. Anang menurut, dia mencarub bunga itu dan menaburkannya di sekitar pohon penyelamatnya. Lalu dia bersila dan berdoa cukup lama. Aku turut di belakangnya.

"Anang itu.. sejak tsunami, dia menjadi sangat dewasa. Kadang saya takut, karena dia seperti bukan anak kecil," desah Mak Cut di sela perjalanan pulang. Anang tertidur di bahunya, kecapaian menempuh perjalanan dua kilometer.
"Itu pendewasaan batin, Mak, harusnya disyukuri," timpalku sambil menyembunyikan sengalan nafas. Ternyata beberapa bulan tidak olahraga mempengaruhi kebugaranku.
"Iya.. kadang, Anang bisa mengusir roh halus," nada bangga terselip di suara Mak Cut.
"Anang dijuluki Kyai Kecil. Orang pada berobat kepadanya,"
"Wah, saingan saya dong Mak," candaku. Aku dokter Puskesmas di dekat rumah Mak Cut.
Mak Cut tersenyum.
"Tapi kadang saya pingin anak saya kembali. Dia baru lima tahun.. waktu bermainnya masih panjang...,"
Aku menoleh memandangi wajah damai Anang. Dia sedang tersenyum dalam tidurnya.
Dan ya, wajahnya sangat bijak.

Tuhan punya rencana besar untuknya.

Apa Namanya?

Hati ini berat, sesak.
Ingat kamu dan semua cerita kita.
Sudah tutup buku,
tapi tergoda untuk buka kembali.

Kalau aku bilang bukan cinta,
bukan sayang,
bukan rindu,
rasa ini..

apa namanya?

Serapuh Sayap Kupu-kupu

Aku terbangun, tidak dengan terkejut seperti biasanya. Hanya tiba-tiba membuka mata di tengah malam buta, menjelang dini hari. Menyadari lingkungan, aku berdebar. Ini bukan di kamarku!!
Aku melirik ke samping mencari tambahan informasi untuk otakku yang baru saja loading, dan tiba-tiba teringat. Aku tertidur di kamar Har.
Aku tersenyum, memandang wajah bayinya yang sedang tidur di bantal sampingku. Dia nampak tenang, setelah semalaman mencurahkan segala beban hatinya padaku. Di ujung matanya masih nampak airmata mengering. Kuusap perlahan, Har bergerak sedikit, lalu mengeluarkan dengkuran halus, tersenyum kecil, lalu diam lagi. Aku ikut tersenyum kecil melihat tingkahnya. Persis anak kecil. Tanpa sadar, tanganku bergerak mengusap rambut ikalnya yang dua hari lalu dicat coklat tua. Halus seperti bulu burung. Hatiku terloncat, cepat-cepat kutarik tanganku, dan beringsut turun dari tempat tidur, menuju kursi rotan di pinggir jendela.

Aku mengeluarkan rokok mildku, mengambilnya sebantang, sudah menaruhnya di sela bibir tapi segela kumasukkan lagi ke kotaknya. Har tidak suka asap rokok. Sebagai gantinya, aku membuka satu daun jendelanya. Angin dini hari menembusi celah kecil itu, membekukan wajahku. Segar. Tadi malam hujan. Mataku jadi terbuka dan pikiranku refresh.

Har curhat.
Sebelumnya, SMS putus asanya berkali-kali mampir ke cell phone yang sebenarnya sengaja ku silent karena aku mau konsentrasi mengerjakan tesis yang dikejar tenggat waktu. Tapi karena lama kelamaan aku menangkap nada memelas dari rentetan kata-katanya, aku menutup laptop dan segera meluncur ke rumah kontrakannya.
Sampai di pintunya, Har langsung menghambur ke pelukanku. Dia menangis seperti anak kecil, tidak sesuai dengan KTPnya yang mengatakan bahwa dia ada di awal kepala tiga. Kutuntun dia ke kursi, kuambilkan minum, dan dalam sesenggukannya dia bercerita.

"Bundaku minta aku menikah, Don," dia membesit ingusnya. Kuulurkan sekotak tissue.
"Ini sudah kali kelimapuluh sekian," dia mencoba menarik nafas, mengalahkan isakannya.
"Bunda nggak bilang sebabnya kenapa selalu minta aku nikah. Tapi aku tahu, Bunda sakit. kemarin Oom Rudi nggak sengaja keceplosan kalau dokter sudah vonis Bunda kanker mulut rahim stadium empat..." aku merangkulnya, menguatkan. Dia terguguk lagi. Har sangat menyayangi Bundanya, apalagi dia anak tunggal kesayangan Bundanya juga.
"Lalu, apa yang buat kamu bingung?" tanyaku halus. Har melirikku dari mata bengkaknya.
"Kok pakai nanya? Siapa yang mau sama aku, Don? Aku banci! Dan kurasa Bunda mulai tahu, makanya Bunda selalu bilang dia mau cucu dari aku..,"
"Banci? yang melabel dirimu ya kamu sendiri, Har sayang..," ujarku mencoba meredamnya.
"Bukan aku! Mereka!! Ketika aku mulai naksir cewek, mereka selalu menyingkir dan menertawaiku di belakang. Mereka bilang aku bencong..,"

Aku menarik nafas, dan menghembusknya perlahan. Bulan tertutup awan selapis, dan segera nampak lagi. Di ujung sana, terdengar degukan burung malam entah apa namanya.
Aku kenal Har tiga tahun yang lalu, di sebuah kafe lukisan. Aku sangat suka lukisan, dan sore itu aku terpaku di depan lukisan koleksi baru -dari pelukis baru pula. Joker, atas pria, bawah wanita. Hatiku tergetar. Karena ingin menikmatinya sedikit lebih lama, aku memesan black coffee dan duduk di meja seberang lukisan itu, sudut pandang yang oke sekali. Sedang termenung, sebuah suara bariton halus membuyarkan lamunanku. Dia ingin juga duduk di meja itu, jadi aku menyilahkan dia duduk di seberangku. Lalu, bersama, kami menikmati lukisan itu.
"Hidup, dan pilihan," celetuknya pendek setelah kami terdiam lama.
"Ya, dan kadang yang temaram selalu disangka buruk. Padahal itu yang sesuai dengan kita," balasku tanpa melepas pandang dari dinding.
"Orang memandang kita dengan standarnya, dan kita jadi terpaksa mengikuti tatanan sosial itu," dia menghela nafas berat.
"Padahal, beda bukan berarti berdosa," sambungku, mau menyalakan rokok tapi pria di depanku terbatuk halus. Aku mendongak memandangnya untuk pertama kalinya. Sepasang mata sayu dan dalam yang dinaungi alis tebal terangkat meminta maaf.
"Maaf, saya asma. Alergi asap," dia tersenyum rikuh lalu mengulurkan tangannya.
"Saya Harna Surya, panggil Har," aku meletakkan rokokku, menyambut tangannya.
"Donatilla, panggil Don,"

Menurutku, Har bukan banci. Dia laki-laki, namun lebih lembut. Sisi feminisnya lekat dan dia berdamai dengan itu, setelah puluhan tahun hidupnya. Dia pun masih tertarik dengan lawan jenisnya, dan tidak pernah berdandan perempuan. Once more, dia hanya lembut, itu saja. Namun lingkungannya kadang terlalu kejam dengannya, memberinya label yang membuat Har merasa berdosa karena bersikap feminin. Dia memang spend time lebih banyak di salon untuk merawat dirinya. Kuku, rambut, kulitnya. Dan kupikir, tidak ada yang salah dengan itu.
Perlahan, aku menoleh mencari kaca dan mendapati bayangan diriku terpantul. Kuelus rambut cepakku.

"Dona lesbi!!"
Terngiang teriakan Lia. Peristiwa itu sudah belasan tahun lewat, tapi rasanya masih segar. Aku masih ingat panasnya mukaku karena malu dan marah, cibiran teman-teman yang mengelilingi toilet wanita, mencegatku di pintu, dan pengadilan tak formal yang kudapat setelah itu.
Aku hanya ingin menolongnya menutup pintu WC yang terbuka karena kuncinya rusak.
"Dia mau mengintip saya Pak!! Dia mau memperkosa saya!!" jerit Lia histeris (what?? Memangnya aku punya penis?)
Padahal, Lia yang lesbi. Dia menyukaiku setahun ini tapi aku menolaknya secara halus. Tapi karena aku yang berpenampilan seperti laki-laki dan Lia seperti putri keraton, akulah yang dipersalahkan.
Kejadian itu membuatku menjadi-jadi. Aku semakin menyepi dalam duniaku. Merokok, minum, potong cepak, dan yang terakhir aku membeli motor cowok.

Tapi aku bukan lesbi. Aku menyukai Ryo, Luke, Vic, yang dibalas dengan cibiran.
"Aku bukan homo, tau," balas mereka. Aku terluka.
Karena itu, aku tahu perasaan Har. Untungnya, Mama tidak pernah memaksaku menikah.

Ada apa dengan dunia? Mereka memakai standarnya sendiri untuk menilai penghuninya, memakai standar 'yang paling sering muncul adalah yang normal'? Dan di luar itu namanya deviasi? Dianggap abnormal dan aneh? Padahal setiap manusia punya standarnya sendiri, yang membuatnya memutuskan hidupnya akan dibawa ke mana, seperti apa, dijalani dengan cara bagaimana, dan ada nilai sendiri yang dipatri di atasnya. Kadang nilai itu tidak sesuai dengan 'anutan umum' atau 'nilai sosial', dan kadang tidak ada tempat untuk keunikan itu.

Bulan masuk, dan semburat ufuk timur mulai tampak diiringi kokokan ayam terdengar samar.
Aku menegakkan punggungku. Mataku terasa panas, dan aku cepat-cepat mengerjapkannya. Sudah beberapa tahun Dona tidak menangis.
Aku beranjak dari kursi dan bersirobok dengan tatapan dalam Har. Dia sudah bangun.

"Hei, dah bangun?" sapaku, antara rikuh dan panik menyembunyikan airmataku. Har memaku pandangan tepat ke mataku. Kuduga, dia sudah beberapa saat terbangun.
"Nyenyak tidurnya?" tanyaku lagi, mencoba membuatnya buka suara. Dia mengangguk, tersenyum. Aku tertunduk, salah tingkah.
Jam berdetak.
"Don, sini..," dia mengulurkan tangannya, dan tangan satunya masih memeluk bantal. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Dia mengangkat tubuhnya, duduk di depanku. Ayam berkokok lagi, angin pagi menembusi jendela yang tadi belum kututup.
"Kamu cantik," senyumnya. Tangannya menelusuri pipiku. Aku memejamkan mata, dadaku berdebar sangat kencang, debaran yang akhir-akhir ini terasa jika bertemu Har.
"Aku lupa ucapkan satu hal tadi malam, keburu tidur karena kecapaian," Har menatapku lembut.
"Dan saat ini aku siap menerima konsekuensinya," lanjutnya. Aku menahan nafas.
"Donatilla..,"
"..aku jatuh cinta padamu. Mau menikah denganku?" aku terpaku.
"Karena Bundamu?" tanyaku bergetar. Dia menggeleng.
"Bunda hanya katalis supaya aku berani jujur ungkapkan rasaku. Aku sudah memendamnya tahunan ini, dan bagiku ini berat karena makin hari perasaan itu makin besar,"
Air mata mengalir menuruni pipiku. Debaran dadaku sekarang ditingkahi musik kecil dan kelegaan luar biasa, menghangatkan badanku.

Aku mengangkat wajah, menemukan keteduhan di kedalaman mata Har yang tanpa prasangka.
"....yes, I do," bisikku di sela hembusan angin pagi dan sinaran matahari.

Sabtu, Maret 29, 2008

Susun Bata

Mau bangun rumah,
dua bulan lagi.
Siap-siap bata, batu,
dan ajak penghuni baru.

Nantinya, rumah ini untuk
puluhan tahun ke depan.
Jadi, pondasinya harus kokoh.

Nantinya, rumah ini untuk
ratusan hari ke depan.
Jadi, isinya harus nyaman.

Nantinya, rumah ini untuk
semua kehidupan baru.
Jadi, aku dan kamu harus
siapkan dengan cinta.

Susun batamu,
bataku,
..

Sudah siap?

Coba!

Manusia itu harus berani mencoba
Hidup tidak ada kali kedua
Belok kanan, belok kiri, lewat sini sana
Jangan takut, di tiap simpangan ada
rambunya!

Pagi Mendung

Pagi mendung
jangan hujan
aku lupa bawa kerudung
nanti jadi kebasahan

Dan cintaku
ternyata lupa nyalakan api
aku jadi membeku
dan coba hangatkan sendiri

Hai,
aduh,
kamu lagi.

Cinta Itu Ada

Kupikir sudah layu,
tapi ternyata masih ada, bersemu
dan pesan itu
datang dari kamu.

Katanya kamu masih cinta,
entah hanya buat lega,
atau memang iya?

Jangan buat aku grogi
Karena kita tahu sendiri,
Yang sudah bersemi
Harus cari ladang sendiri.

Karena ladangku sudah ada bunganya
Dan kamu, mau kuletak di mana?

Berdiri, Berani

Malam tadi aku berlindung di balik selimut
Memeluk lutut

Aku takut sendiri.

Seperti tidak berpijak tanah
kaki ini, bingung arah
ke mana harus melangkah??
Hidupku, entahlah!

Pagi ini,
Hati kosong, mulai isi
Sedikit, beri energi
Supaya aku bisa berdiri,
Berani!

Rabu, Maret 26, 2008

Mencintaimu, karena... (4)

Empat

Hubungan kami semakin intens. Dengan alasan pekerjaan, konsultasi program, minta jurnal HIV, dan banyak lagi alasan (ehm..aku lebih suka bilang 'motivasi' ya. Kalau 'alasan', kesannya aku mencari-cari. Padahal kadang memang benar-benar karena alasan..ups..motivasi kerjaan). Sejauh ini aku sangat terbantu oleh dukungan Ju, baik segi contain ilmu maupun guideline program. Aku bukan tenaga kesehatan (aku lulusan psikologi), seperti yang sudah pernah kubilang, jadi pengetahuan tentang 'penyakit ini' minim sekali.

"Bu Liv, aku sudah posting jurnal terbaru dari Clinical Care Option," ketiknya di ruang chat kami. Saat itu aku sedang membuka postingan Ju yang terdahulu tentang tes HIV dengan air liur yang sekarang sedang heboh dibahas. Padahal katanya, air liur tidak mengandung cukup virus untuk menularkan. Aku garuk-garuk kepala. Bisa heboh lagi dong masyarakat kalau dengan simpelnya mereka menyimpulkan bahwa air liur bisa menularkan. Padahal sudah susah payah dikampanyekan bahwa HIV hanya bisa bular lewat empat cairan: darah dan produknya (sel darah komplit, sel darah merah, sel darah putih, trombosit, dll), cairan kelamin pria, cairan kelamin wanita, dan air susu ibu. Selain itu nggak bisa. Kampanye itu supaya stigma masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS berkurang, dan mereka bisa menerima para Odha itu di masyarakat tanpa takut bersentuhan, berciuman, berpelukan, berbagi gelas dll dengan mereka.

Kuketik balas, "Thanks, Mas..," kemajuan kan, aku mulai memanggilnya 'mas', bukan lagi
'pak' seperti kemarin. Ju saja yang masih rikuh memanggilku langsung nama atau 'dek'.
"Aku masih bingung tentang isyu OraQuick -alat bantu diagnosis dengan sampel air liur- kemarin. Memangnya virus itu bisa nular lewat air liur ya Mas?"
Ju membalas dengan icon berpikir.
"Itu kan menurut penelitian, Bu. Coba nanti aku cari lagi dasar teorinya atau penelitian terkaitnya ya.."
Aku balas dengan icon senyum dan jantung hati. Maksudnya??? Hmm.. thanks to you aja Ju..

Semenjak emailku mulai dipenuhi dengan postingan Ju tentang HIV, pikiranku semakin terbuka. Ternyata HIV/AIDS -dan pengidapnya- tidak semengerikan bayanganku semula. Pikirku dulu nih penyakit mematikan sekali dan yang sudah tertular tidak berhak hidup lagi, ternista, sakit-sakitan, dan pasti orang yang nggak benar. Sama dengan pikiran banyak orang, setiap mendengar kata HIV/AIDS, yang terbayang adalah buruk, buruk, dan buruk.

Ju mengubah pandanganku pelan-pelan. HIV - Human Immunodeficiency Virus- ini bukan virus yang dengan mudah menular, dan bukan virus yang amat-sangat-berbahaya. Dia gampang mati di luar tubuh manusia (jadi gosip jarum suntik di bioskop itu bohong ya Ju? Aku sempat 3 bulan nggak berani ke bioskop saking takutnya). Penularannya pun dengan cara-cara tertentu saja, misalnya tranfusi darah yang tidak diskrining dulu, menerima donor organ yang telah terinfeksi, jarum suntik yang berganti-ganti pada pelayanan kesehatan yang tidak standar (tapi minimal sekali kan, sekarang satu pasien satu jarum suntik), pada pengguna narkotika suntik, pada orang yang sering berganti pasangan tanpa menggunakan kondom, dan dari ibu ke bayinya. Jadi, kalau hanya sentuhan, salaman, ciuman bahkan, menggunakan toilet bareng, makan dari piring yang sama, berbagi gelas, berenang bersama, ... aman. Dan setelah seseorang terinfeksi HIV, kondisi tubuhnya tidak langsung menurun seperti yang kubayangkan dulu. Ada periode laten (ada virusnya tapi tak bergejala), selama lima sampai duabelas tahun. Saat itu Odha bisa beraktivitas biasa. Atau untuk Odha yang rajin menjaga kesehatannya, status ketahanan tubuhnya bisa terjaga lebih lama lagi. Misalnya rajin olahraga, stop drugs, no smoking, no alkohol...

"Aku tahu positif HIV sejak sembilan tahun yang lalu, waktu masih semester satu kuliah,"
"Boleh tahu dari mana?"
"....aku suka challange. Aku suka coba-coba, dan aku menikmati rasa addict itu"
"Jadi.. lewat jarum suntik atau sex?"
Icon tertawa terbahak-bahak "I always play save sex, Bu. Lewat opsi pertama"
Aku tercekat sebentar.
Liv.. apa yang kaupikirkan? Ju masih virgin? Usianya pertengahan tigapuluh lima dan dia lama di kota besar. Anything could be happen, kan? Aku sedikit kecewa.

Hari lain, di ruang chat.
"Sebenarnya satu hal yang membedakanku denganmu hanya satu, Bu. Kamu punya sistem kekebalan tubuh yang baik, aku tidak"
Aku me-recall ingatanku, HIV itu menyerang sel darah putih -sel pertahanan tubuh manusia- sehingga sistem imunitas pengidap akan menurun
"Berapa CD 4 terakhirmu, Mas?"
CD 4 itu satu bagian sel darah putih yang digunakan sebagai penanda tingkat kekebalan tubuh Odha.
"Hmmm.. duaratus lmapuluhan lah. Usahaku cukup keras untuk itu (icon senyum)"
"Great (icon tepuk tangan). Pertimbangan mulai ARV?"
Antiretroviral atau obat yang bermanfaat untuk menekan laju perbanyakan HIV ini mulai dikonsumsi saat CD 4 seorang Odha ada pada angka duaratus (berarti, anggapan orang bahwa HIV nggak ada obatnya itu salah. HIV/AIDS ada obatnya, namun tidak menyembuhkan, itu yang benar.)
"Tunggu dulu deh, tanggung jawabnya besar. Aku harus benar-benar patuh, minum obat itu tiap hari seumur idup. Karena tau kan Bu, kalo minumnya bolong-bolong, virusku nanti kebal dan diperlukan obat yang lebih kuat lagi. Lebih mahal en efek sampingnya juga lebih.."
"Makanya cari PMO dong Mas.." Pengawas Minum Obat, orang yang mengingatkan Odha supaya teratur minum obat.
(Icon muka sedih) "Sampai lupa cari nih. Siapa yang mau kurepotkan dengan status HIVku?"
Walau nggak diucapkan, kami tahu bahwa ini pembicaraan tentang spouse.
"Ak..." aku terdiam sebentar, lalu kupencet backspace.
"Hmm.. sabar Mas, pasti ada..."

Aku?
Sesaat tadi keinginanku sangat besar untuk mencalonkan diri jadi PMO nya. Dan itu berarti jadi pendamping hidupnya. Lepas dari perasaan Ju bagaimana ke aku, hal itu kadang terpikir selintas di sela persiapanku kampanye hari AIDS ini. Sesuatu yang berkaitan dengan HIV/AIDS selalu mengingatkanku padanya.
Bagaimana rasanya menjadi istrinya?

Tunggu.
Sebenarnya perasaanku ke dia bagaimana??

Senin, Maret 24, 2008

Mencintaimu, karena... (3)

Tiga

Sekarang, setelah Ju ada di depanku aku belum juga berani bertanya. Pertama, karena itu tidak profesional, kedua karena aku tidak menemukan redaksional yang tepat untuk menyalurkan ke-penasaran an ku, ketiga.. debaran dadaku melebihi marching band tujuhbelasan dan itu membuatku susah bicara.

Padahal jarak kami terpisah ratusan kilo.
Ya, kami ketemuan by phone.

"Jadi, approval Pak Frank sudah turun?" suara Ju di seberang sana terdengar bersemangat. Dan getaran semangat itu menjalar lewat kabel telepon, dan menghangatkan dadaku tanpa kuduga.
"Iya, Pak Frank senang dan mendukung promosi kesehatan terkait isyu ini. Di sini masih tabu sih. Tapi saya masih belum tahu akan seperti apa bentuknya. Apakah kemasannya bisa sama dengan topik lain?" tanyaku.
"Hmm..," Ju terdiam sejenak, "Memang tidak bisa sefrontal topik lain, di mana semua fakta dibeber tanpa kecuali. kalau mau adakan promkes isyu ini kita harus assessment dulu targetnya. Untuk remaja, mahasiswa, ibu rumah tangga, kalangan ulama, pendekatannya beda lho. Salah mengatur strategi promosi, bisa kacau nanti. Capaiannya nggak kena dan stigma masyarakat tentang HIV/AIDS makin menjadi-jadi," ujarnya. Aku mengusap mataku yang tiba-tiba panas. Pekerjaan rumahku bertambah, menyusun logical framework, adakan survei singkat, dan belajar (hei, aku awam tentang HIV/AIDS).
"..bu Livita?" guman Ju dari ujung sana. Aku tersadar bahwa telah membiarkan pembicaraan menggantung selama beberapa menit.
"Ehem.. ya, Pak? Oh iya.. ya.. akan saya survei dulu nanti..," suaraku melemah. Dan nampaknya Ju menangkap kegalauanku.
"Anda sudah berusaha untuk mengegolkan program HIV/AIDS. Jika tidak keberatan, saya akan jadi asisten Anda untuk konsep dan contain..," aku menahan nafas, "..For free," tambahnya diiringi derai tawanya (yang ternyata renyah. Kok aku bisa baru tahu? Ah ya. Kemarin situasi kami kaku, tidak ada waktu untuk mempresentasikan tawanya). Aku ikut tertawa. Perasaanku melega, dan pertanyaan itu tiba-tiba terlontar.
"Terimakasih Pak. Oh iya, dulu Anda tertularnya bagaimana?" setelah itu kugigit bibirku kuat-kuat. Bodoh Liv.. kamu belum tahu siapa dia, tapi sudah mengajukan pertanyaan yang -mungkin saja- sensitif?
Dan sayangnya jawaban Ju bukannya meredakan penasaranku, tapi semakin mengkuadratkannya.

"Hmm.. kita masih punya banyak waktu untuk membuka lembar itu pelan-pelan. Kalau kamu nggak keberatan," 'kamu'. Bukan Anda.

Tenggorokanku tercekat.
"Ya.. aku nggak keberatan," 'aku'. Bukan saya.

Setelah itu, aku merasakan tingkat ketertarikanku pada topik ini meningkat, bukan saya karena ternyata permasalahan di dalam isyu HIV/AIDS sangat kompleks, tapi juga karena Julian. Hubungan kami semakin intens, diawali dari diskusi tentang program, hingga kemudian ke hal personal.

Aku tertarik pada Julian. Atau pada isyu HIV/AIDS?

Aku tertarik pada isyu HIV/AIDS. Atau pada Julian?

Selasa, Maret 18, 2008

Mimpi Indahlah Sayang


Mimpilah, setinggi, sejauh, sebesar yang kau berani. Bermimpi itu sah kok, tidak dipungut bayaran juga alias gratis. Tapi kenapa ya, tidak semua orang berani bermimpi? Aku salah satunya. Aku terlalu membatasi diri dengan pemikiran-sok-rasional yang pada akhirnya mengebiri keinginan besarku, apapun itu. Aku ingin sekolah di luar negeri misalnya, kutepis sendiri dengan alasan rasional: bahasa Inggrisku pas-pasan. Atau aku ingin mencoba publish tulisan, kurasionalisasi dengan: tulisanku jelek ah..jelek jelek jelekkk... Mau coba lamar ke perusahaan atau instansi bergengsi, kutepis dengan: ah aku masih miskin pengalaman...
Kalau begini terus, kapan bisa maju manusia ini? Ilahi memberi kita nafas hidup untuk mengembangkan diri, meluaskan pandangan, melebarkan langkah dan mengepakkan sayap kan? Masing-masing manusia diberi bekal untuk dibagikan ke sesamanya. Tapi itu baru bisa terjadi jika dan hanya jikamanusia itu sendiri sudah bisa menemukan bekalnya. Talentanya. Hmm.. ya iya lah ya..kalau belum bisa mengeksplore diri, gimana bisa membagi ke orang? Sadar-kalau-punya saja tidak. Nah, sekarang yang berat adalah melawan diri sendiri, mengakui bekal-bekal yang diberikan Ilahi pada kita. Mengakui bakat itu juga perjuangan lho. Kadang orang malu, tidak pede, rikuh untuk mengakui dengan sadar dan rendah hati bahwa kita memang diberi talenta untuk itu atau ini.... Intinya, kenal diri dulu.
Baru kemudian beranilah bermimpi.
Bagaimana menurutmu?

Mencintaimu karena... (2)


Dua


Aku membalikkan badan dengan resah. Jarum pendek jam di mejaku sudah di angka dua, tapi mataku belum mau pejam. Setiap menutup, yang terbayang adalah wajah Julian. Padahal dia sudah pulang seminggu yang lalu, meninggalkan kesan mendalam yang entah bagaimana menawan pikiranku belakangan ini.


Julian itu seorang HIV positif.


Dia orang pertama yang mengaku langsung di depan mataku, dengan gayanya yang hmm..cukup elegan? Satu pertanyaan yang terjawab itu melahirkan rentetan pertanyaan di belakangnya. Dari mana Julian bisa tertular? Apa yang dilakukannya waktu tahu dia tertular? Bagaimana dia merespon statusnya di kesehariannya? Bagaimana dia mempublish dirinya pada teman sekantornya? Toh sekarang Julian masih kerja menjadi dosen dan peneliti, kuliah S2 nya sudah selesai (ini kutahu juga dari CVnya), kehidupan sosialnya nampak tetap matang...


Stop, Liv. Memangnya, apa yang kamu pikirkan dari seorang HIV positif? Bahwa dia kehilangan seluruh dunianya? Hidupnya selesai? Langit mendung kelabu tanpa mentari? Dikucilkan teman-teman, diusir dari tempat kerja?


Ya, itu yang 'seharusnya' terjadi pada orang HIV positif kan? Sebagai satu akibat perbuatannya sendiri, sebagai hukuman alam. Tapi kenapa hidup Julian masih baik-baik saja?? Aku tidak habis pikir. Kubalikkan badanku lagi, kuraih guling Teedy Bearku, kupeluk erat.


Ah ya... jangan-jangan Julian membohongi semua orang, menyembunyikan statusnya, lalu bersikap nothing happen. Maka dari itu, dunianya tidak berubah... Aku mengangguk puas. Keterangan ini menjawab kebingunganku. Julian pasti membohongi dunia tentang statusnya.


Tapi, kalau dia menyembunyikan statusnya, kenapa dia membukanya padaku dalam pertimbangan cepat -sekian menit saja? Aku tidak lihat kebimbangan saat dia mengatakan statusnya. Sama muatannya ketika orang mengaku 'ya, aku seorang perokok'. Ringan.


Ah, aku makin pusing. Hipotesisku bahwa Julian membohongi dunia mengabur lagi.


Kulirik jam, sudah hampir jam tiga. Dengan terpaksa kututup mataku dan sekuatnya berusaha melenyapkan bayangan Julian dan menelan segala rasa penasaranku.
Besok akan kutanyakan langsung padanya, janjiku dalam hati.

Menabrak, Hari ini


Aku mau menyeberang untuk menghampiri penjual sarung tangan di pinggir jalan depan kampus UNY. Aku memang melawan arus karena aku barusaja keluar dari gang rumahku. Karena aku tahu aku akan 'melawan tatanan' itulah, aku lebih hati-hati. Lampu retting kiri sudah kuhidupkan beberapa saat sebelum aku ancang-ancang menyeberang, mataku kupancang pada spion di kanan kiri motor Shogun kesayanganku. Sip, ruas jalan pertama mulai berkurang arus kendaraannya. Kupacu pelan motorku, menyamping ke kiri sampai di pertengahan jalan. Dari ruas yang satu, kulirik spion ada mobil dan motor tapi masih di batas aman. Kuteruskan memacu motorku menuju abang penjual sarung tangan. Dan sepersekian detik, kudengar teriakan

"EH EH EH EH EH!!!!!" ciit... GUBRAK!! Dan aku merasa hantaman keras di sebelah kiriku, yang memaksa badan dan motorku terhempas ke depan beberapa meter, sandal dan helmku terpental, berikut dengan hatiku. Sakit di kakiku terasa menyengat.

Aku ditabrak.

Dengan panik kukendalikan motorku, yang stangnya masih kupegangi dan belum stabil. Jangan jatuh..jangan jatuh.. and God listen. Sepersekian detik sebelum aku tersambar mobil belakang, aku berhasil menguasai motor, kunetralkan, aku bawa ke pinggir, memeriksa kakiku sekilas. Tidak ada darah, cukuplah. Lalu berpaling ke seseorang yang menabrakku. Dengan cepat memutuskan reaksi yang harus kuberikan. Pilihannya adalah:
1] Mendatangi sambil marah, secara aku sudah beri lampu sen kiri, kok masih juga nyelonong???
2] Minta maaf karena aku membuatnya menabrakku (lhoh??)
3] ...

Dan aku memilih yang ketiga. Aku mendatanginya, tidak untuk marah (karena sama-sama sakit kan) dan tidak juga untuk minta maaf. Minta maaf terlalu dini akan langsung memposisikan diri sebagai pihak bersalah. Posisi tawar menjadi rendah tanpa dikaji dulu. Jadi, aku ambil sandal dan helmku, kudatangi ibu itu (ternyata ibu-ibu), kutanyai dia dengan ramah (dengan hati masih meloncat-loncat kaget..kaget..)
"Ibu, luka tidak?" kuamati, ada sedikit lecet gores di punggung kaki kanannya. Tidak ada darah, hanya selpis kulit ari yang terkelupas. Syukurlah.
Ibu itu membuka slayernya, mukanya sudah cemberut. Gelagat tidak baik. Kuteruskan pengamatan cepat -rapid assessment- untuk melihat perlu tidaknya marah atau minta maaf.
"Barang ibu ada yang rusak?" dia tadi membawa bungkusan kardus sebesar kotak air mineral dan plastik.
"Kalau barangnya aman," ujarnya. Mulai melunak, batinku lega. Aku mengecek barangnya, utuh. Sepertinya bukan barang pecah belah.
"Motornya bisa jalan?" tanyaku, mendatangi motornya yang nampak masih gress. Lecet samar, di perisai depan, tidak ada lampu pecah, spion kanan terpuntir -tapi bisa dikencangkan, dan rem kaki yang melesak ke dalam. Kucoba straternya, bisa.
"Itu, remnya rusak, gimana nih" gerutunya sedikit. Orang yang berkerumun melihat proses penyelesaian tanpa emosi meledak, mulai memberi sumbang saran.
"Dibenerin di bengkel aja Bu, cuma limaribuan kok," Thanks Bro for helping..
"Lha mbaknya, apa yang rusak??" ujarnya, mungkin mencoba mencari komparasi, sebenarnya siapa yang lebih dirugikan dari kejadian ini. Dia atau aku. Aku melihat motornya. Principally, motorku baik-baik saja. Kakiku yang tidak baik. Nyut-nyutnya mulai terasa. Tapi supaya kedudukan 'seri', aku menunjuk full step motorku yang melesak ke dalam (psst.. sebenarnya dia melesak ke dalam karena kecelakaan tunggal yang kualami 5 bulan lalu. Untung sama-sama di sisi kiri...white lies, Bro Sist..)
"Itu, full step saja juga mlenyok," tunjukku polos. Sama-sama rugi kan Bu...
Ibu itu terdiam. Mungkin masih menimbang-nimbang.
"Ya udah saya betulin aja sendiri," putusnya. Aku bersorak dalam hati. Lalu dia menaiki motornya, kubantu menyusun bawaannya, dan distarternya motornya. Dicobanya hand rem, masih bisa. Gigi satu dimasukkan.
"Hati-hati ya Bu..," ujarku sebelum ibu itu berlalu. Kutepuk bahunya ramah.
Sepeninggal ibu itu, aku memberi selamat pada diriku sendiri. Great job, gal! Without angry, without sorry, without tears, semua rampung dengan smooth.
"Ibu itu yang salah kok mbak," ujar si abang penjual sarung tangan (yang mungkin merasa bersalah karena tahu aku menyeberang untuk beli sarung tangannya?) berusaha menunjukkan dia ada di pihakku. Aku nyengir sambil memilih sarung tangan dagangannya.
"Iya, wong aku udah pasang retting kiri kok masih nrabas," timpalku. Bagaimanapun juga aku pingin mencari pembenaran diriku, kan.. ;)
Kupilih satu, kubayar, dan kupacu motorku lagi perlahan.

Blessed day!! Aku bisa memilih peran yang enak dalam kejadian yang tidak enak, berkat omongan teman baikku tadi malam ketika kami mengobrol.
"Sil, ketika kita bisa menahan marah, itu sudah merupakan satu prestasi tersendiri untuk kita. Biarlah orang lain yang marah, asal kita tetap stay cool," thanks, Tan, kurang dari duapuluh empat jam sejak pelajaran darimu, aku sudah dicobai untuk menerapkan 'ilmu' darimu. Satu lagi pelajaran baik yang sangat bermanfaat yang kudapatkan: BELI HELM STANDAR YANG OKE! (hiks, helm ku tadi mengkhianatiku dengan meloncat dari kepalaku)..

Mencintaimu karena... (1)


Satu

Aku terduduk di kursi depan komputer sejak tigapuluh menit yang lalu, sejak email yang berisi attach foto Julian sampai. Foto itu sudah kubuka, dan senyum yang merekah di wajah Ju menawan pandangku untuk beberapa saat. Ini wajah Ju tiga tahun yang lalu, ketika dia baru saja mengetahui status ketahanan tubuhnya.

"Dear Liv, foto ini diambil di Aussie waktu aku diundang konferensi AIDS Asia Pasifik. Pertama kalinya aku berani keluar dan open my status..." tulisnya di emali, menghantarkan fotonya.

Julian masih nampak tegap dan gemuk, seri pipi nya merah muda, dan matanya berbintang. Latar belakangnya adalah riuh rendah peserta konferensi dari berbagai negara, beberapa dari mereka tampak menggoda Ju dengan ikut nampang di foto. Ada yang menjulurkan lidah, melambaikan tangan, dan tangannya menunjukkan lambang victory terbalik -menggambarkan bentuk pita peduli. Aku tertawa kecil mengamati mileu suasana dia waktu di foto itu. Dan mengamati dia.

"Liv, laporan kegiatanmu untuk kampanye Hari AIDS kemarin masuk hari ini ke aku ya," suara bariton Agus memaksaku melepas pandangan dari kedip komputer. Aku mengangguk patuh. Beberapa hari yang lalu, aku dan teman-teman mengadakan kampanye pengetahuan HIV/AIDS untuk mahasiswa akademi kesehatan seluruh kota dan juga masyarakat luas. Agus tersenyum puas, berhasil menanamkan deadline padaku. Lalu sebelum pergi ke mejanya sendiri, dia mengomentari foto Ju yang belum sempat ku minimize.
"Halah jeng.. kupikir sibuk mikir laporan naratif.. ternyata melolotin foto pacarnya..,"
"Eit.. bukan pacar! Dia.. dia..," aku kebingungan sendiri dan garuk-garuk kepala. Agus terbahak dan mengacak rambutku.
"Ngeles..," aku menekuk bibirku, have no words to say.

Pacar? Julian?


Aku kembali menekuri fotonya untuk beberapa saat, lalu menghembuskan nafas panjang. Ku save as foto itu di komputer, kuklik tanda silang di ujung kanan jendela, dan berniat merampungkan laporan naratif yang diminta Agus, staf infokom kantorku.


Peringatan Hari AIDS 1 Desember tahun ini di kota kecil pinggir pantai ini cukup meriah. Isyu HIV/AIDS belum banyak dihembuskan di sini, dan aksi kampanye kemarin cukup membuat gebrakan. Aku tersenyum sendiri mengingat awal dari aksi ini. Dari 'kompor' Julian.


"Bu Livita, lembaga Anda itu kompeten di bidang promosi kesehatan. Mengapa tidak turut mengangkat isyu HIV di kota ini? Saya amati di sini masih sunyi hening dan sok aman, padahal saya tahu ada kantong-kantong pramunikmat dan pecandu narkotik suntik di sini," katanya tenang di balik kepulan tipis asap rokoknya, enam bulan lalu. Aku mengerutkan dahi. Pria yang bicara di depanku ini adalah pembicara yang diundang Dinas Kesehatan untuk memberi sesi surveilans dan epidemiologi dua hari ini. Kantorku salah satu penyandang dananya, jadi malam ini aku 'terpaksa' menemaninya jamuan dinner di salah satu resto seafood tepi pantai.


"Isyu HIV itu sesuatu yang sensitif, Pak. Dan bukan suatu kebutuhan untuk saat ini," elakku. Di benakku terpampang pula puluhan program yang harus kukelola beberapa bulan ini, dan pencabangan untuk ikut mempromosikan isyu HIV akan membelah otakku jadi bagian yang lebih kecil lagi. Mau tidur berapa jam sehari aku? Sekarangpun tidurku kurang dari lima jam.


"Walau saya sudah kemukakan bahwa di sini ada kantong risiko? Dan mereka lebih berisiko lagi karena tidak tahu info yang benar tentang HIV/AIDS. Bagaimana menularnya, bagaimana mencegahnya, bagaimana gejalanya, pemeriksaannya... Mereka -saya yakin- baru sekian persen yang tahu kalau perilakunya itu potensial mengundang virus itu masuk tubuh mereka," pembicara yang bernama Julian Adi Baruno (aku ingat waktu baca CV nya di resume panitia kemarin) itu masih mencoba menawar.


"Iya, saya tahu," bohong, sebenernya buatku itu bukan urusanku. Toh aku nggak melakukan tindakan berisiko, "Tapi di sini saya hanya field officer, petugas lapangan. Jadi untuk memperluas suatu program promosi kesehatan itu perlu approval staf di atas saya," bohong lagi. Di kota kecil ini, aku adalah manajer programnya. Julian menatapku dari balik kacamata half-framenya. Aku mencoba menantang tatapannya. Beberapa saat bertatapan, Julian yang mengalah menundukkan kepalanya. Sembunyi-sembunyi kuhembuskan nafas lega. Tanpa kusadari, debaran hatiku meningkat intensitasnya selama beberapa saat mata kami bersirobok tadi.


"Baik, akan saya coba untuk menghubungi Pak Franki," aduh! Kenapa dia menyebut nama direktur pusat lembagaku? Jangan-jangan dia kenal dengan Bapak? Mungkin saja karena dia sering diundang jadi pembicara ke mana-mana. Kalau dia ngomong dengan Pak Franki, aku akan nampak bodoh dengan menolaknya sementara aku tahu Pak Frank orang yang inovatif. Perluasan bidang promosi kesehatan pasti menggairahkannya. Aku mulai melonggarkan tawar-menawar ini.


"Ehm...baik. Nanti saya coba beri usulan ke pusat," Julian tersenyum tipis. Aku menggerutu dalam hati. Puas? Puas? Puas? Kubayangkan wajah Thukul waktu membatinnya.


Makan malam selesai dengan tanpa riak gelombang yang berarti. Negosiasi Julian denganku berhasil. Sebelum kuantar dia kembali ke hotel tempatnya menginap, aku menanyakan satu hal yang mengganjalku dari pertama.


"Maaf, boleh saya tahu mengapa Anda nampak interes dengan isyu AIDS? Anda kan seorang akademisi dan peneliti, tidak ada kaitannya dengan HIV/AIDS?" Julian menelan tegukan terakhir jus kelapa mudanya sebelum memberiku jawaban yang membuatku tidak bisa tidur bermalam-malam.


"Ada sekali, Bu," dia mencari titik pusat mataku, memakunya, dan menjawab perlahan,"..saya seorang HIV positif,"


Sang Nahkoda



Aku suka berlayar, menikmati angin dan menuruti desakan sepoi yang lalu membawaku ke suatu pulau, atau pelabuhan. Selama ini aku belum pernah berdiri di balik kemudinya dan mengarahkan jalannya kapal ke mana. Aku hanya mengikuti, menikmati, dan cukup puas dengan belaian angin di tepian deknya.
Sampai suatu saat, aku berpikir bahwa berdiri di balik kemudi dan mengarahkan kapal itu ke suatu tempat tujuan adalah hal yang lebih menarik dan menantang daripada hanya berdiri di tepian dek, memegangi besinya dan terlena dengan teriakan pelikan.
Ingin menjadi nahkoda itu!
Tapi prosesnya tentu saja tidak mudah. Nahkoda harus tahu arah angin, deru ombak, titik fokus tujuan, cuaca... dan banyak lagi. Semua itu harus dipelajari, dan jika aku berhasil mempelajarinya, aku bisa menjadi seorang yang membawa kapal itu dan sekarang aku malah bisa mengajak orang lain turut serta dalam kapalku, mengajak mereka menikmati titik tujuanku.

Itulah aku sekarang.
Dulu -dan sampai saat ini- aku adalah penikmat tulisan orang lain. Seperti penumpang yang menikmati belaian angin di kapal yang diarahkan Sang Nahkoda. Aku ikut dalam gembira, sedih, penasaran Sang Nahkoda yang membawaku dalam Kapal Kata-katanya.
Aku suka menulis. Sejak SD aku sudah membuat kumpulan cerita misteri dengan Anggi -teman SDku. Jadi 3 buku (buku tulis strip jadul). Lalu ketika komik mulai datang, aku mulai suka menggambar komik. SMP, meningkat menjadi cerpen-cerpen remaja dan sesekali cerpen anak-anak yang ingin kukirim ke Majalah Bobo. Beberapa kali aku mengirimkan cerita itu ke harian lokal, yang belum dimuat juga. Sayangnya, saat itu aku mengambil kesimpulan cepat bahwa tulisanku tidak layak tayang, tidak layak baca, dan itu membuatku 'takut' untuk mengirimkan lagi.
Aku kembali menyerah dan 'trimo' menjadi penumpang Kapal saja. Silakan jika ada Nahkoda yang mau membawaku ke Pulau nya....

Tapi sekarang aku mau berani lagi memulai. Membagikan tulisanku ke orang lain. Menjadi Sang Nahkoda itu sendiri dan membawa orang masuk di Kapalku, merasakan passion itu, belajar bersamaku, dan aku mengambil pelajaran hidup bersamanya.

Karena itu, inilah Kapalku, semua orang kuundang menjadi penumpang yang berbagi hati denganku, dan mari kita mengarungi samudera dengan Kapal Kataku, menuju Pulau itu.

Dan, aku juga ingin diundang untuk naik Kapalmu!

Semoga angin itu meniup kita ke arah yang tepat, dengan cuaca yang baik, dan sampai di Pulau dengan puas hati...