Senin, November 03, 2008

Aku Hanya Ingin Bilang Cinta Padamu

Aku menutup mata untuk terakhir kalinya, saat kurasakan sakit ini menggigit di sekujur tubuhku. Dan untuk segala sisa tenaga yang kupunya, aku bisikkan 'aku cinta padamu, dari dulu'. Dan sayangnya, pemandangan terakhir yang kulihat adalah mata yang terbelalak cemas menahan tangis dan mulutmu yang ternganga meneriakkan namaku...
***

Bulan ini bulan dua, di tahun dua ribu satu. Aku bukan teman barumu, karena kita bertemu di sekolah lanjutan atas. Ya, aku bukan temanmu, aku muridmu. Saat itu usiaku baru enambelas, dan kamu memperkenalkan diri sebagai guru Kimia. Aku buang muka, aku benci Kimia. Aku sudah bertekad untuk masuk IPS kelas tiga nanti. Lalu kamu mengabsen seisi kelas, untuk berkenalan. Saat sampai di namaku, alismu bertaut.
"Ratri?" aku mengangkat tangan tapi mataku ke arah luar. Bisik-bisik dan suara menahan tawa terbit di seisi kelas. Sudah kuduga.
"Saya lahir sore hari. Belakangnya Putra Wibawa kan? Maksudnya seorang lelaki berwibawa yang lahir sore hari," jelasku panjang dengan nada dingin. Senyum manis tersungging di bibirmu.
"Nama yang sangat bagus. Nama saya juga mengingkari kecantikan saya: Yoga Sentani," semua tergelak, melupakan betapa femininnya namaku. Walau aku tahu itu bodoh, aku berterimakasih padamu karena membuat posisi kita sama. Dan aku tidak mati malu menyandang namaku untuk tiga tahun ke depan.

"Putra, saya mau bicara. Ini tentang nilai ulanganmu,"
Aku mengangkat kepala dari buku komik yang kubaca, lalu berjalan mengikutimu ke meja guru. Kalau hasilnya buruk, aku sudah punya alasan untuk itu. Dan aku tidak malu dengan nilai jelekku.
"Hasilnya..," kamu membetulkan kacamata bingkai setengah yang bertengger di hidung mancungmu (heit, dari kapan aku tahu hidungmu mancung?).
"..maaf Bu, saya nggak sempat belaja..,"
"..tertinggi di kelas," potongmu. Lalu menyeringai lebar.
"Padahal saya kira kamu tidak tertarik dengan Kimia. Kamu jarang memperhatikan dan yah..terkesan acuh setiap saya mengajar," senyummu maklum. Aku tidak melihat adanya sakit hati di sana karena kamu kuacuhkan.
"Ya..selama ini saya pikir saya juga nggak tertarik Kimia," jawabku asal. Kamu kembali tersenyum. Aku baru sadar, betapa kamu ini sering sekali tersenyum. Dan senyummu itu unik. Saat ujung kananmu terangkat, akan ada lesung kecil terbit di pipi kananmu, lalu ujung kiri akan menyusul, dan matamu menyipit ramah.
"Jadi, sekarang, dengan nilai tinggimu sementara kamu tidak belajar, bolehkan saya minta tolong?" lanjutmu. Aku menggigit pipi dalamku.
"Apaan, Bu?"
"Hmm..wakili kelasmu jadi duta olimpiade Kimia tingkat propinsi," ujarmu santai. Mataku membulat.
"What?? Bukan berarti karena sekali ulangan saya nilainya tinggi, saya trus jadi jago Kimia dong Bu," protesku. Setengahnya karena tidak percaya diri juga. Kamu lagi-lagi menyeringai. Kali ini beda dengan senyuman. Kamu akan membuka mulutmu membentuk setengah bulan, dan gigi putihmu itu terpacak sempurna di sana. Dua lesung pipit itu menyempurnakan wajah bayi mu.
"Jelas tidak, Putra. Tapi kita punya waktu dua bulan untuk pemahaman intensif Kimia, sebelum nanti babak pertama olimpiade. Setelah dua bulan kita akan tahu, kamu siap atau tidak,"
"Tapi jangan cuma saya," potongku cepat.
"Hmm..kita akan ambil beberapa anak yang nilainya baik dan berminat dengan kimia juga. Di sana nanti kita adakan pembelajaran Kimia yang asyik bersama-sama," kamu tersenyum, nampak puas telah bisa membuatku tidak menolak.
Baiklah, aku memang bukan anak baik. Tapi aku juga bukan anak tidak sopan yang menolak permintaan guru, apalagi demi sekolah. Kakakku yang wakil ketua OSIS pasti bisa membuatku di ospek berkali-kali kalau itu terjadi.
Aku membenarkan poniku yang jatuh menutupi dahi.
"Kita lihat nanti, Bu," jawabku sok menggantung.
"Kita mulai lusa, jam tiga sepulang sekolah," ujarmu akhirnya tanpa memperdulikan setengah keenggananku.

Dan, sial. Ternyata aku memang jadi menyukai Kimia. Ralat, mencintai. Dan itu karena kamu. Aku memang tidak bodoh, tapi selama ini aku tidak menggunakan imajinasi dan alur pikir untuk merasionalisasi rumus Kimia yang menyebalkan. Aku hanya menghafalkan, dan kamu dengan sukses membuatku merangkai cerita dari rumus-rumus yang membuat kepala sakit. Satu bulan bersama di kelas intensif persiapan olimpiade ini, juga membuatku bertambah akrab dengan teman-teman kelas lain. Aku memang cuek, tidak merasa mereka penting pada awalnya. Tapi kehangatan yang ditawarkan Ina, Budi, Rayi, Mulia membuatku betah dan tidak merasa sebagai rival. Kami adalah kelompok belajar Kimia. Berkat mereka, aku sekarang memotong rapi rambutku, memasukkan baju seragamku dan memakai sepatu dengan benar -tidak menginjak bagian belakangnya lagi.
Siang ini, beberapa kali aku menangkap basah dirimu sedang mengamatiku lekat dan tersenyum sendiri. Dan anehnya, aku jadi berdebar-debar, dan malahan aku yang salah tingkah.

"Putra, kamu sudah belajar tentang oksidasi? Ajari aku sebentar dong," pinta Rayi siang itu, sebelum tes seleksi Kimia diadakan. Sudah tepat dua bulan, dan hari ini dari antara kami akan dipilih dua orang sebagai wakil. Sesaat kami diskusi, Rayi manggut-manggut mengerti.
"Yak, semua duduk di bangkunya sendiri-sendiri, selang seling satu," suara bass pak Joko memberi komando. Sesaat aku terdiam, sebelum beranjak ke kursiku. Di mana kamu?
Sampai akhir tes, batang hidung mancungmu belum nampak. Aku jadi merasa sepi, sedikit.
"Bu Sentani ke mana?" tanyaku akhirnya pada Mulia. Dia mengangkat bahu.
"Put, Mul, setelah ini kita ke rumah sakit ya," ujar Ina dari bangku depan. Rayi dan Budi mendekat.
"Ada apa, Na?" tanya mereka bersamaan.
"Bu Sentani operasi angkat kandungan. Tumor rahimnya stadium lanjut....," terangnya. Atau setidaknya hanya itu yang bisa kutangkap karena aku sudah kehilangan pikiranku.

"Untung masih hidup," Mulia mengelap keringat di dahinya. Teman-teman lain yang datang kemudian di lorong rumah sakit mengerutkan alis.
"Kenapa?" Rayi bertanya.
"Itu," Mulia menunjukku dengan dagu, "Ngebut kayak kesetanan. Panik banget sepertinya,"
Aku diam saja, mendengar pembicaraan mereka sayup-sayup. Permenku kugigit kuat-kuat. Dorongan kuat untuk menghisap rokok yang sudah kuhentikan sejak dua bulan ini mendadak timbul lagi seiring rasa kuatirku yang membuncah. Tapi aku ingat, kamu tidak suka asap rokok.
"Ayo ke bangsal," ajakku dingin pada mereka. Sedingin telapak tanganku yang mengkuatirkanmu.

"Jangan diajak bicara ya, kondisinya masih lemah," ujar Suster yang menjaga ruang perawatan intensif itu. Kami masuk bergantian, itupun hanya lima menit perorang. Aku harus berganti sandal dan memakai baju steril. Jika harus berbaju zirahpun, aku mau demi melihatmu.
Dan, aku hampir pingsan melihatmu terbaring lemah dengan masker oksigen menutupi senyum manismu. Kacamata yang tidak kamu pakai membuatku tahu betapa lentik bulu matamu. Tapi itu setengah terpejam. Aku ingin berteriak keras supaya kamu terbangun penuh dan menegurku lagi dengan teguran lembut tegasmu.
Tanpa kusadari aku telah mengenggam tanganmu, dan kamu membuka kelopak matamu sedikit, lalu lesung pipit itu nampak di pipimu. Lalu pejam lagi.
Keributanpun seketika terjadi.
"Tekanan darahnya turun lagi, Dok!!" seru seorang perawat yang membuatku segera melepaskan genggamanku. Seorang dokter mendatangi tempat tidurmu, memeriksa mata, dan selang yang tersalir ke bawah tempat tidurmu.
"Perdarahannya masih berlangsung. Cari cadangan donor!" komandonya.
"Darahnya AB, dok, agak susah," jawab perawat di meja seberang yang sibuk mencari infus untuk dipasangkan di tiang pancang.
"Saya AB, ambil darah saya!" seruku spontan.

Satu bulan sejak itu. Satu bulan sejak darahku menyatu di pembuluh darahmu. Aku belum berani menjengukmu karena takut kalap. Padahal aku ingin memberitahumu, aku lolos sampai nasional, dan berangkat besok lusa ke Jakarta. Aku menyalurkan kekalapanku dengan belajar. Mengingat ceritamu. Mengingat ceriamu saat menceritakan dongeng tentang persamaan Kimia. Dan tidur dengan perasaan rindu yang baru kusadari akhir-akhir ini.

Budi menepuk pundakku bangga, setelah Kepala Dinas P dan K mengalungkan medali emas di leherku. Aku tersenyum datar. Ini bukan buat aku, kataku dalam hati. Tapi pengganti bunga yang ingin kubawa ke depanmu sambil mengungkapkan isi hatiku.

Di bandara Adisucipto, sebelum aku dan Budi berpisah, Ina menelponku dan mengatakan aku segera ke rumah Bu Sentani karena ada pemakaman di sana. Dengan kalut kupacu motorku yang kutitipkan di daerah Janti, menuju rumahmu. Budi lebih dahulu dengan taksi. Dan karena kalap, aku tidak melihat ada lubang besar di depan rumahmu, dan terpelanting keras terbanting berkali-kali. Badanku sakit semua. Rasa hangat di dahiku memberitahuku bahwa ada kulit robek di sana. Aku ingin bangkit tapi sulit, dan aku melihat wajahmu terpacak di depanku. Lho, bukannya kamu yang dimakamkan?
Aku tidak sempat bertanya karena bibrku sudah kelu. Aku hanya sempat mengangsurkan medali emas yang kugenggam dan sedikit robek tergesek aspal, dan membisikkan 'aku cinta padamu' dengan lemah.
****

Bulan ketiga tahun dua ribu delapan.
Ketika aku mengangsurkan seikat bunga di depanmu dan memintamu menjadi kekasihku, kamu terbelalak dan menutup bibirmu dengan tangan.
Tapi aku tidak mau menerima penolakan. Bukan karena aku kasihan padamu yang tinggal memiliki seorang ibu dan rendah diri karena tidak punya rahim lagi, tapi karena aku mencintaimu.
Karena itu aku merengkuh tubuh mungilmu ke dalam pelukanku saat upacara wisuda sarjanaku.

1 komentar:

Devie Carol mengatakan...

Hm...cerita yang menarik. Tapi tetep, deskripsimu kurang Mbul, jadi bingung, ini mana yang cowok mana yang cewek.
Memang kamu jago mengungkapkan perasaan dan hati, seolah yang membaca mengalami sendiri, tapi...tapi....ga jelas yang mana. Kamu cowok bikin metropop ringan yang penuh perasaan sehingga pembaca yang masih muda2 ikut terhanyut. Coba diexplore kemampuanmu untuk menceritakan satire kehidupan. Jadi ceritanya pahit dan penuh kesedihan (favoritku) hehe, tapi happy ending.