Selasa, Maret 18, 2008

Mimpi Indahlah Sayang


Mimpilah, setinggi, sejauh, sebesar yang kau berani. Bermimpi itu sah kok, tidak dipungut bayaran juga alias gratis. Tapi kenapa ya, tidak semua orang berani bermimpi? Aku salah satunya. Aku terlalu membatasi diri dengan pemikiran-sok-rasional yang pada akhirnya mengebiri keinginan besarku, apapun itu. Aku ingin sekolah di luar negeri misalnya, kutepis sendiri dengan alasan rasional: bahasa Inggrisku pas-pasan. Atau aku ingin mencoba publish tulisan, kurasionalisasi dengan: tulisanku jelek ah..jelek jelek jelekkk... Mau coba lamar ke perusahaan atau instansi bergengsi, kutepis dengan: ah aku masih miskin pengalaman...
Kalau begini terus, kapan bisa maju manusia ini? Ilahi memberi kita nafas hidup untuk mengembangkan diri, meluaskan pandangan, melebarkan langkah dan mengepakkan sayap kan? Masing-masing manusia diberi bekal untuk dibagikan ke sesamanya. Tapi itu baru bisa terjadi jika dan hanya jikamanusia itu sendiri sudah bisa menemukan bekalnya. Talentanya. Hmm.. ya iya lah ya..kalau belum bisa mengeksplore diri, gimana bisa membagi ke orang? Sadar-kalau-punya saja tidak. Nah, sekarang yang berat adalah melawan diri sendiri, mengakui bekal-bekal yang diberikan Ilahi pada kita. Mengakui bakat itu juga perjuangan lho. Kadang orang malu, tidak pede, rikuh untuk mengakui dengan sadar dan rendah hati bahwa kita memang diberi talenta untuk itu atau ini.... Intinya, kenal diri dulu.
Baru kemudian beranilah bermimpi.
Bagaimana menurutmu?

Mencintaimu karena... (2)


Dua


Aku membalikkan badan dengan resah. Jarum pendek jam di mejaku sudah di angka dua, tapi mataku belum mau pejam. Setiap menutup, yang terbayang adalah wajah Julian. Padahal dia sudah pulang seminggu yang lalu, meninggalkan kesan mendalam yang entah bagaimana menawan pikiranku belakangan ini.


Julian itu seorang HIV positif.


Dia orang pertama yang mengaku langsung di depan mataku, dengan gayanya yang hmm..cukup elegan? Satu pertanyaan yang terjawab itu melahirkan rentetan pertanyaan di belakangnya. Dari mana Julian bisa tertular? Apa yang dilakukannya waktu tahu dia tertular? Bagaimana dia merespon statusnya di kesehariannya? Bagaimana dia mempublish dirinya pada teman sekantornya? Toh sekarang Julian masih kerja menjadi dosen dan peneliti, kuliah S2 nya sudah selesai (ini kutahu juga dari CVnya), kehidupan sosialnya nampak tetap matang...


Stop, Liv. Memangnya, apa yang kamu pikirkan dari seorang HIV positif? Bahwa dia kehilangan seluruh dunianya? Hidupnya selesai? Langit mendung kelabu tanpa mentari? Dikucilkan teman-teman, diusir dari tempat kerja?


Ya, itu yang 'seharusnya' terjadi pada orang HIV positif kan? Sebagai satu akibat perbuatannya sendiri, sebagai hukuman alam. Tapi kenapa hidup Julian masih baik-baik saja?? Aku tidak habis pikir. Kubalikkan badanku lagi, kuraih guling Teedy Bearku, kupeluk erat.


Ah ya... jangan-jangan Julian membohongi semua orang, menyembunyikan statusnya, lalu bersikap nothing happen. Maka dari itu, dunianya tidak berubah... Aku mengangguk puas. Keterangan ini menjawab kebingunganku. Julian pasti membohongi dunia tentang statusnya.


Tapi, kalau dia menyembunyikan statusnya, kenapa dia membukanya padaku dalam pertimbangan cepat -sekian menit saja? Aku tidak lihat kebimbangan saat dia mengatakan statusnya. Sama muatannya ketika orang mengaku 'ya, aku seorang perokok'. Ringan.


Ah, aku makin pusing. Hipotesisku bahwa Julian membohongi dunia mengabur lagi.


Kulirik jam, sudah hampir jam tiga. Dengan terpaksa kututup mataku dan sekuatnya berusaha melenyapkan bayangan Julian dan menelan segala rasa penasaranku.
Besok akan kutanyakan langsung padanya, janjiku dalam hati.

Menabrak, Hari ini


Aku mau menyeberang untuk menghampiri penjual sarung tangan di pinggir jalan depan kampus UNY. Aku memang melawan arus karena aku barusaja keluar dari gang rumahku. Karena aku tahu aku akan 'melawan tatanan' itulah, aku lebih hati-hati. Lampu retting kiri sudah kuhidupkan beberapa saat sebelum aku ancang-ancang menyeberang, mataku kupancang pada spion di kanan kiri motor Shogun kesayanganku. Sip, ruas jalan pertama mulai berkurang arus kendaraannya. Kupacu pelan motorku, menyamping ke kiri sampai di pertengahan jalan. Dari ruas yang satu, kulirik spion ada mobil dan motor tapi masih di batas aman. Kuteruskan memacu motorku menuju abang penjual sarung tangan. Dan sepersekian detik, kudengar teriakan

"EH EH EH EH EH!!!!!" ciit... GUBRAK!! Dan aku merasa hantaman keras di sebelah kiriku, yang memaksa badan dan motorku terhempas ke depan beberapa meter, sandal dan helmku terpental, berikut dengan hatiku. Sakit di kakiku terasa menyengat.

Aku ditabrak.

Dengan panik kukendalikan motorku, yang stangnya masih kupegangi dan belum stabil. Jangan jatuh..jangan jatuh.. and God listen. Sepersekian detik sebelum aku tersambar mobil belakang, aku berhasil menguasai motor, kunetralkan, aku bawa ke pinggir, memeriksa kakiku sekilas. Tidak ada darah, cukuplah. Lalu berpaling ke seseorang yang menabrakku. Dengan cepat memutuskan reaksi yang harus kuberikan. Pilihannya adalah:
1] Mendatangi sambil marah, secara aku sudah beri lampu sen kiri, kok masih juga nyelonong???
2] Minta maaf karena aku membuatnya menabrakku (lhoh??)
3] ...

Dan aku memilih yang ketiga. Aku mendatanginya, tidak untuk marah (karena sama-sama sakit kan) dan tidak juga untuk minta maaf. Minta maaf terlalu dini akan langsung memposisikan diri sebagai pihak bersalah. Posisi tawar menjadi rendah tanpa dikaji dulu. Jadi, aku ambil sandal dan helmku, kudatangi ibu itu (ternyata ibu-ibu), kutanyai dia dengan ramah (dengan hati masih meloncat-loncat kaget..kaget..)
"Ibu, luka tidak?" kuamati, ada sedikit lecet gores di punggung kaki kanannya. Tidak ada darah, hanya selpis kulit ari yang terkelupas. Syukurlah.
Ibu itu membuka slayernya, mukanya sudah cemberut. Gelagat tidak baik. Kuteruskan pengamatan cepat -rapid assessment- untuk melihat perlu tidaknya marah atau minta maaf.
"Barang ibu ada yang rusak?" dia tadi membawa bungkusan kardus sebesar kotak air mineral dan plastik.
"Kalau barangnya aman," ujarnya. Mulai melunak, batinku lega. Aku mengecek barangnya, utuh. Sepertinya bukan barang pecah belah.
"Motornya bisa jalan?" tanyaku, mendatangi motornya yang nampak masih gress. Lecet samar, di perisai depan, tidak ada lampu pecah, spion kanan terpuntir -tapi bisa dikencangkan, dan rem kaki yang melesak ke dalam. Kucoba straternya, bisa.
"Itu, remnya rusak, gimana nih" gerutunya sedikit. Orang yang berkerumun melihat proses penyelesaian tanpa emosi meledak, mulai memberi sumbang saran.
"Dibenerin di bengkel aja Bu, cuma limaribuan kok," Thanks Bro for helping..
"Lha mbaknya, apa yang rusak??" ujarnya, mungkin mencoba mencari komparasi, sebenarnya siapa yang lebih dirugikan dari kejadian ini. Dia atau aku. Aku melihat motornya. Principally, motorku baik-baik saja. Kakiku yang tidak baik. Nyut-nyutnya mulai terasa. Tapi supaya kedudukan 'seri', aku menunjuk full step motorku yang melesak ke dalam (psst.. sebenarnya dia melesak ke dalam karena kecelakaan tunggal yang kualami 5 bulan lalu. Untung sama-sama di sisi kiri...white lies, Bro Sist..)
"Itu, full step saja juga mlenyok," tunjukku polos. Sama-sama rugi kan Bu...
Ibu itu terdiam. Mungkin masih menimbang-nimbang.
"Ya udah saya betulin aja sendiri," putusnya. Aku bersorak dalam hati. Lalu dia menaiki motornya, kubantu menyusun bawaannya, dan distarternya motornya. Dicobanya hand rem, masih bisa. Gigi satu dimasukkan.
"Hati-hati ya Bu..," ujarku sebelum ibu itu berlalu. Kutepuk bahunya ramah.
Sepeninggal ibu itu, aku memberi selamat pada diriku sendiri. Great job, gal! Without angry, without sorry, without tears, semua rampung dengan smooth.
"Ibu itu yang salah kok mbak," ujar si abang penjual sarung tangan (yang mungkin merasa bersalah karena tahu aku menyeberang untuk beli sarung tangannya?) berusaha menunjukkan dia ada di pihakku. Aku nyengir sambil memilih sarung tangan dagangannya.
"Iya, wong aku udah pasang retting kiri kok masih nrabas," timpalku. Bagaimanapun juga aku pingin mencari pembenaran diriku, kan.. ;)
Kupilih satu, kubayar, dan kupacu motorku lagi perlahan.

Blessed day!! Aku bisa memilih peran yang enak dalam kejadian yang tidak enak, berkat omongan teman baikku tadi malam ketika kami mengobrol.
"Sil, ketika kita bisa menahan marah, itu sudah merupakan satu prestasi tersendiri untuk kita. Biarlah orang lain yang marah, asal kita tetap stay cool," thanks, Tan, kurang dari duapuluh empat jam sejak pelajaran darimu, aku sudah dicobai untuk menerapkan 'ilmu' darimu. Satu lagi pelajaran baik yang sangat bermanfaat yang kudapatkan: BELI HELM STANDAR YANG OKE! (hiks, helm ku tadi mengkhianatiku dengan meloncat dari kepalaku)..

Mencintaimu karena... (1)


Satu

Aku terduduk di kursi depan komputer sejak tigapuluh menit yang lalu, sejak email yang berisi attach foto Julian sampai. Foto itu sudah kubuka, dan senyum yang merekah di wajah Ju menawan pandangku untuk beberapa saat. Ini wajah Ju tiga tahun yang lalu, ketika dia baru saja mengetahui status ketahanan tubuhnya.

"Dear Liv, foto ini diambil di Aussie waktu aku diundang konferensi AIDS Asia Pasifik. Pertama kalinya aku berani keluar dan open my status..." tulisnya di emali, menghantarkan fotonya.

Julian masih nampak tegap dan gemuk, seri pipi nya merah muda, dan matanya berbintang. Latar belakangnya adalah riuh rendah peserta konferensi dari berbagai negara, beberapa dari mereka tampak menggoda Ju dengan ikut nampang di foto. Ada yang menjulurkan lidah, melambaikan tangan, dan tangannya menunjukkan lambang victory terbalik -menggambarkan bentuk pita peduli. Aku tertawa kecil mengamati mileu suasana dia waktu di foto itu. Dan mengamati dia.

"Liv, laporan kegiatanmu untuk kampanye Hari AIDS kemarin masuk hari ini ke aku ya," suara bariton Agus memaksaku melepas pandangan dari kedip komputer. Aku mengangguk patuh. Beberapa hari yang lalu, aku dan teman-teman mengadakan kampanye pengetahuan HIV/AIDS untuk mahasiswa akademi kesehatan seluruh kota dan juga masyarakat luas. Agus tersenyum puas, berhasil menanamkan deadline padaku. Lalu sebelum pergi ke mejanya sendiri, dia mengomentari foto Ju yang belum sempat ku minimize.
"Halah jeng.. kupikir sibuk mikir laporan naratif.. ternyata melolotin foto pacarnya..,"
"Eit.. bukan pacar! Dia.. dia..," aku kebingungan sendiri dan garuk-garuk kepala. Agus terbahak dan mengacak rambutku.
"Ngeles..," aku menekuk bibirku, have no words to say.

Pacar? Julian?


Aku kembali menekuri fotonya untuk beberapa saat, lalu menghembuskan nafas panjang. Ku save as foto itu di komputer, kuklik tanda silang di ujung kanan jendela, dan berniat merampungkan laporan naratif yang diminta Agus, staf infokom kantorku.


Peringatan Hari AIDS 1 Desember tahun ini di kota kecil pinggir pantai ini cukup meriah. Isyu HIV/AIDS belum banyak dihembuskan di sini, dan aksi kampanye kemarin cukup membuat gebrakan. Aku tersenyum sendiri mengingat awal dari aksi ini. Dari 'kompor' Julian.


"Bu Livita, lembaga Anda itu kompeten di bidang promosi kesehatan. Mengapa tidak turut mengangkat isyu HIV di kota ini? Saya amati di sini masih sunyi hening dan sok aman, padahal saya tahu ada kantong-kantong pramunikmat dan pecandu narkotik suntik di sini," katanya tenang di balik kepulan tipis asap rokoknya, enam bulan lalu. Aku mengerutkan dahi. Pria yang bicara di depanku ini adalah pembicara yang diundang Dinas Kesehatan untuk memberi sesi surveilans dan epidemiologi dua hari ini. Kantorku salah satu penyandang dananya, jadi malam ini aku 'terpaksa' menemaninya jamuan dinner di salah satu resto seafood tepi pantai.


"Isyu HIV itu sesuatu yang sensitif, Pak. Dan bukan suatu kebutuhan untuk saat ini," elakku. Di benakku terpampang pula puluhan program yang harus kukelola beberapa bulan ini, dan pencabangan untuk ikut mempromosikan isyu HIV akan membelah otakku jadi bagian yang lebih kecil lagi. Mau tidur berapa jam sehari aku? Sekarangpun tidurku kurang dari lima jam.


"Walau saya sudah kemukakan bahwa di sini ada kantong risiko? Dan mereka lebih berisiko lagi karena tidak tahu info yang benar tentang HIV/AIDS. Bagaimana menularnya, bagaimana mencegahnya, bagaimana gejalanya, pemeriksaannya... Mereka -saya yakin- baru sekian persen yang tahu kalau perilakunya itu potensial mengundang virus itu masuk tubuh mereka," pembicara yang bernama Julian Adi Baruno (aku ingat waktu baca CV nya di resume panitia kemarin) itu masih mencoba menawar.


"Iya, saya tahu," bohong, sebenernya buatku itu bukan urusanku. Toh aku nggak melakukan tindakan berisiko, "Tapi di sini saya hanya field officer, petugas lapangan. Jadi untuk memperluas suatu program promosi kesehatan itu perlu approval staf di atas saya," bohong lagi. Di kota kecil ini, aku adalah manajer programnya. Julian menatapku dari balik kacamata half-framenya. Aku mencoba menantang tatapannya. Beberapa saat bertatapan, Julian yang mengalah menundukkan kepalanya. Sembunyi-sembunyi kuhembuskan nafas lega. Tanpa kusadari, debaran hatiku meningkat intensitasnya selama beberapa saat mata kami bersirobok tadi.


"Baik, akan saya coba untuk menghubungi Pak Franki," aduh! Kenapa dia menyebut nama direktur pusat lembagaku? Jangan-jangan dia kenal dengan Bapak? Mungkin saja karena dia sering diundang jadi pembicara ke mana-mana. Kalau dia ngomong dengan Pak Franki, aku akan nampak bodoh dengan menolaknya sementara aku tahu Pak Frank orang yang inovatif. Perluasan bidang promosi kesehatan pasti menggairahkannya. Aku mulai melonggarkan tawar-menawar ini.


"Ehm...baik. Nanti saya coba beri usulan ke pusat," Julian tersenyum tipis. Aku menggerutu dalam hati. Puas? Puas? Puas? Kubayangkan wajah Thukul waktu membatinnya.


Makan malam selesai dengan tanpa riak gelombang yang berarti. Negosiasi Julian denganku berhasil. Sebelum kuantar dia kembali ke hotel tempatnya menginap, aku menanyakan satu hal yang mengganjalku dari pertama.


"Maaf, boleh saya tahu mengapa Anda nampak interes dengan isyu AIDS? Anda kan seorang akademisi dan peneliti, tidak ada kaitannya dengan HIV/AIDS?" Julian menelan tegukan terakhir jus kelapa mudanya sebelum memberiku jawaban yang membuatku tidak bisa tidur bermalam-malam.


"Ada sekali, Bu," dia mencari titik pusat mataku, memakunya, dan menjawab perlahan,"..saya seorang HIV positif,"


Sang Nahkoda



Aku suka berlayar, menikmati angin dan menuruti desakan sepoi yang lalu membawaku ke suatu pulau, atau pelabuhan. Selama ini aku belum pernah berdiri di balik kemudinya dan mengarahkan jalannya kapal ke mana. Aku hanya mengikuti, menikmati, dan cukup puas dengan belaian angin di tepian deknya.
Sampai suatu saat, aku berpikir bahwa berdiri di balik kemudi dan mengarahkan kapal itu ke suatu tempat tujuan adalah hal yang lebih menarik dan menantang daripada hanya berdiri di tepian dek, memegangi besinya dan terlena dengan teriakan pelikan.
Ingin menjadi nahkoda itu!
Tapi prosesnya tentu saja tidak mudah. Nahkoda harus tahu arah angin, deru ombak, titik fokus tujuan, cuaca... dan banyak lagi. Semua itu harus dipelajari, dan jika aku berhasil mempelajarinya, aku bisa menjadi seorang yang membawa kapal itu dan sekarang aku malah bisa mengajak orang lain turut serta dalam kapalku, mengajak mereka menikmati titik tujuanku.

Itulah aku sekarang.
Dulu -dan sampai saat ini- aku adalah penikmat tulisan orang lain. Seperti penumpang yang menikmati belaian angin di kapal yang diarahkan Sang Nahkoda. Aku ikut dalam gembira, sedih, penasaran Sang Nahkoda yang membawaku dalam Kapal Kata-katanya.
Aku suka menulis. Sejak SD aku sudah membuat kumpulan cerita misteri dengan Anggi -teman SDku. Jadi 3 buku (buku tulis strip jadul). Lalu ketika komik mulai datang, aku mulai suka menggambar komik. SMP, meningkat menjadi cerpen-cerpen remaja dan sesekali cerpen anak-anak yang ingin kukirim ke Majalah Bobo. Beberapa kali aku mengirimkan cerita itu ke harian lokal, yang belum dimuat juga. Sayangnya, saat itu aku mengambil kesimpulan cepat bahwa tulisanku tidak layak tayang, tidak layak baca, dan itu membuatku 'takut' untuk mengirimkan lagi.
Aku kembali menyerah dan 'trimo' menjadi penumpang Kapal saja. Silakan jika ada Nahkoda yang mau membawaku ke Pulau nya....

Tapi sekarang aku mau berani lagi memulai. Membagikan tulisanku ke orang lain. Menjadi Sang Nahkoda itu sendiri dan membawa orang masuk di Kapalku, merasakan passion itu, belajar bersamaku, dan aku mengambil pelajaran hidup bersamanya.

Karena itu, inilah Kapalku, semua orang kuundang menjadi penumpang yang berbagi hati denganku, dan mari kita mengarungi samudera dengan Kapal Kataku, menuju Pulau itu.

Dan, aku juga ingin diundang untuk naik Kapalmu!

Semoga angin itu meniup kita ke arah yang tepat, dengan cuaca yang baik, dan sampai di Pulau dengan puas hati...