Rabu, April 02, 2008

Simpangan Jalan Kita

Malam merayap, Fatria bergulung-gulung di kasurnya, gelisah.
"Say, tidurlah, kok berisik amat sih," gerutu Nan, teman sekamar dan sekasurnya. Fat menghentikan letupan kegelisahannya sejenak, tapi kemudian helaan nafas panjang yang berkali-kali terdengar menggelitik kuping Nan.
"Kenapa? Kalau kepanasan hidupin aja tuh kipas anginnya, tapi rabrakin dinding ya. Pilek nanti aku," dia membuka kelopak matanya -sedikit- lalu pejam lagi. Fat terdiam sejenak dan menahan helaan nafasnya. Akhirnya dia tidak tahan lalu beranjak keluar kamar, ke beranda.
Dibukanya kotak pesan di cell phone nya, dan mendapati sederetan nama Raka terpacak di sana. Dia menyentak nafasnya, kesal, tapi ada rasa rindu mendesak rongga dadanya.

"Fat, kamu baru apa?" awalnya begitu. Sesaat dia terdiam. Nama Raka sudah tergeser dari posisi kotak masuknya karena saking lamanya dia nggak kirim kabar.
"Baru pulang dari kantor, dan kangen Jogja," tulisnya. Dan suddenly kangen kamu.
"Cuma Jogja yang dikangenin?" Fat menggaruk kepalanya, mendapati rambutnya sudah agak memanjang dibanding tiga bulan yang lalu, saat pertemuannya terakhir dengan Raka.
"Kangen Jogja dan...," Fat terdiam sejenak ,"..nggak krasa?" tulisnya.
"Dadaku sakit. Aku mau krasa tapi takut ge er," balas Raka. Fat berdebar-debar. Setelah sekian lama Raka menutup gerbang komunikasi mereka, mengapa malam ini dia datang lagi dan menumbuhkan segala rasa yang dulu pernah hampir berkembang penuh? Fat mulai parno, jangan-jangan Raka iseng.
"Kenapa dadamu sakit?" semoga bukan karena virus yang enam tahun lalu terdeteksi ada di tubuhnya. Virus yang menurunkan kekebalan tubuhnya, yang dulu diklaim tidak ada obatnya.
"Karena aku jatuh cinta. Dengan seorang wanita yang tidak bisa kumiliki," Fat merasakan matanya memanas. Raka curhat dia jatuh cinta -entah dengan siapa- kepadanya? Tahu nggak sih dia kalau hatinya sampai sekarangpun masih selalu bergetar mengingatnya? Tega sekali.
"Sama siapa?" Lucky her...
"Sama seorang wanita di ujung Indonesia, yang berjuang di tengah hutan, yang sudah mau menikah, ..," Fat terduduk tanpa sadar. Lemas kakinya. Itu aku, bisiknya dalam hati.

Kenyataan yang sekarang diketahuinya bahwa Raka masih menyimpan bara itu di dadanya untuk Fat membuatnya berdebar tanpa henti setelah percakapan via SMS itu. Sekarang, keinginannya untuk menelpon Raka sangat besar. Setelah ragu beberapa saat, dia men-dial nomer yang dihafalnya di luar kepala itu dan..

"The number you are callin is busy..please try again..," sial, jam segini memang jaringan baru crowded karena iklan promosi murah itu. Provider ini full of customer -dampak berhasilnya advertising mereka.
Ratusan kali mencoba, men-dial, dari posisi duduk, berdiri, jongkok, nangkring di pohon jambu, bersila di lantai beranda...

Nihil.
Provider itu tidak berbaik hati mengerti usahanya untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya. Apalagi letak rumah dinas yang diberikan pemerintah Papua ini terlindungi pohon-pohon besar.

Dengan putus asa dia membuang nafas dan menghempaskan diri di kursi rotan.
"Raka..Raka..," desahnya pelan.
Raka adalah pasiennya yang pertama, HIV positif. Sejak awal dia tidak menyangka -ketika hendak mengobati infeksi jamur di telinganya- sampai orang itu membuka sendiri statusnya untuk keamanan dirinya. Padahal, lewat infeksi telinga pun sebenarnya virus itu tidak menular. Hanya, kata Raka waktu itu, dia sedang dalam pengobatan virus -terapi antiretroviral- sehingga dia harus memberitahukan ke dokternya karena siapa tahu ada interaksi antara obat ARV dan obat telinga. Dengan tersenyum Fat menjawab, semua aman, dan membatin untungnya aku kemarin mengikuti short course tentang HIV.
Sejak empat bulan ditempatkan di puskesmas ujung Papua oleh pemerintah pusat, Fat belum perah menjumpai pasien HIV positif walau Odha Papua banyak. Termasuk concentrated area di Indonesia. Sekarang, Odha pertama yang dijumpainya di Puskesmasnya malahan orang Jogja -hometownnya- yang adalah aktivis HIV dan sedang dalam perjalanan studi banding.

Raka itu hidup, dia penuh semangat, dia memandang dunia dengan positif seiring dengan statusnya, dan tidak segan dia membagikan pengetahuannya, termasuk mempersilakan Fatri mempelajarinya sebagai atlas hidup HIV.

Dan Fat jatuh cinta padanya.

"Aku juga, dok. Tapi..," dia menggenggam jari Fat lembut.
"Kamu sudah tunangan, enam bulan lagi menikah, dan aku tidak mau dan mampu mengganti posisi tunanganmu. Semua yang kau perlukan sudah ada: keamanan, status sosial yang jelas, restu kedua keluarga, ..," Fat diam dan mencoba tetap tegar dengan wajah basah.
"Aku tidak bisa memberikan itu semua. Risiko mu besar jika berjalan bersamaku. Untuk punya anak pun kita harus berpikir banyak kali," dia tersenyum sedih namn tetap manis.
"Dan rasa cintaku tidak mengijinkan hal itu menimpamu, dok..,"

Sekarang Raka membiarkan Fat tahu bahwa dia masih mencintainya.
Beberapa bulan lagi Fat menikah.
Dan malam ini Fat sadar bahwa bara itu masih menghangat.

Burung hantu bertengger di pepohonan ujung jalan sana, ber -uhu dengan sedih, mengiringi aliran sungai kecil di ujung matanya...

Senin, Maret 31, 2008

Pagi yang Ramai

"Selamat datang!!!"
"Oleh-oleh..!!"
"Wa..wa..wa.. ada yang potong rambut!!"

Ramai banget, hari ini semua pulang cuti. Ada mbak Susi dan mbak Rani dengan senyum lebar dan sekeranjang oleh-oleh khas Jogja dan Salatiga (hhmmm..nyammi! Pia gula merah, kripik tahu, kripik kerang, kripik kulit, donat, jambu manisan, hehe kalo ini ada yang made in Medan-Carrefour yak...).

"Gimana kabarnya??" cipika cipiki...
"Sebenere masih pingin cuti lagi yuu..," celoteh riang, gembira, mewarnai pagi ini di kantor.

Nah, sudah lengkap kan formasinya? Masih ada pe er yang harus dibereskan..sebelum phasing out program rehabilitasi Aceh 3 tahun ini.

Ughsss.... tetap semangat yakk!!!

Pohon Kenangan Anang

"Mak, di pohon itu Anang dulu sangkut," cerocos anak kecil lima tahun ketika kami lewat rimbunan semak rumbia. Mak Cut terdiam, menggandeng makin erat.
"Kenapa Anang masih ingat? Itu kan sudah lama sekali? Anang masih kecil pula," sahutku ingin tahu. Mak Cut melirikku, menyuruhku menghentikan tanya lewat tatapannya. Maaf, sudah terlanjur terucap, jawabku lewat pandangan juga.
"Anang sering mimpi, dan kadang nampak waktu itu. Air naik, gelap kotor seperti ular kobra mau mematuk..," tangannya memeragakan tukikan kobra, "lalu ada suara keras, Tante. Boom!! Orang berlarian, Anang terpisah dari Mak, Anang pingsan, dan bangun-bangun sudah sangkut di pohon..," kulirik Mak Cut, wajahnya pias, matanya menerawang. Aku menduga, ingatannya sudah berada di tiga tahun lalu saat tsunami menyapu desa mereka.
"...sebelah Anang nampak babi hutan, Tante.. besar seperti kerbau kakek. Taringnya besar, tajam, Anang hampir nangis. Tapi babi itu nggak lukai Nang, Tante. Dia meringkuk, badannya lindungi Anang dari air bah yang kadang datang," Anang tampak mengenang jasa babi itu.
"..sekitar Nang, terhanyut mayat-mayat.. ada ular juga, ada kambing.. semua campur Tante..,"
Aku merinding mengikuti penuturannya, imajinasiku membentuk kilasan film kisah Anang.
"Nang duduk di rumbia tiga hari..,"
"Makannya gimana Nang?" tanyaku penasaran. Anang menyeringai.
"Ada kulkas hanyut deket Nang, ketika Nang buka, isinya komplit. Ada apel, roti, keju, air... Itu kiriman Alloh," dia tersenyum. Dadaku berdesir.
"Alhamdullilah.. kulkas orang kaya, Tante.. kalau meninggal pasti dia masuk syurga karena membolehkan kulkasnya memberi makan Nang tiga hari," ujarnya. Mak Cut mempercepat jalannya, Anang mengikuti agak kepayahan. Tangan kecilnya menggenggam keranjang bunga tabur. Kubantu dia, dia menolak.
"Sudah sampai, Nang. Ayo diletak," kata Mak Cut lembut, sedikit terbata. Anang menurut, dia mencarub bunga itu dan menaburkannya di sekitar pohon penyelamatnya. Lalu dia bersila dan berdoa cukup lama. Aku turut di belakangnya.

"Anang itu.. sejak tsunami, dia menjadi sangat dewasa. Kadang saya takut, karena dia seperti bukan anak kecil," desah Mak Cut di sela perjalanan pulang. Anang tertidur di bahunya, kecapaian menempuh perjalanan dua kilometer.
"Itu pendewasaan batin, Mak, harusnya disyukuri," timpalku sambil menyembunyikan sengalan nafas. Ternyata beberapa bulan tidak olahraga mempengaruhi kebugaranku.
"Iya.. kadang, Anang bisa mengusir roh halus," nada bangga terselip di suara Mak Cut.
"Anang dijuluki Kyai Kecil. Orang pada berobat kepadanya,"
"Wah, saingan saya dong Mak," candaku. Aku dokter Puskesmas di dekat rumah Mak Cut.
Mak Cut tersenyum.
"Tapi kadang saya pingin anak saya kembali. Dia baru lima tahun.. waktu bermainnya masih panjang...,"
Aku menoleh memandangi wajah damai Anang. Dia sedang tersenyum dalam tidurnya.
Dan ya, wajahnya sangat bijak.

Tuhan punya rencana besar untuknya.

Apa Namanya?

Hati ini berat, sesak.
Ingat kamu dan semua cerita kita.
Sudah tutup buku,
tapi tergoda untuk buka kembali.

Kalau aku bilang bukan cinta,
bukan sayang,
bukan rindu,
rasa ini..

apa namanya?

Serapuh Sayap Kupu-kupu

Aku terbangun, tidak dengan terkejut seperti biasanya. Hanya tiba-tiba membuka mata di tengah malam buta, menjelang dini hari. Menyadari lingkungan, aku berdebar. Ini bukan di kamarku!!
Aku melirik ke samping mencari tambahan informasi untuk otakku yang baru saja loading, dan tiba-tiba teringat. Aku tertidur di kamar Har.
Aku tersenyum, memandang wajah bayinya yang sedang tidur di bantal sampingku. Dia nampak tenang, setelah semalaman mencurahkan segala beban hatinya padaku. Di ujung matanya masih nampak airmata mengering. Kuusap perlahan, Har bergerak sedikit, lalu mengeluarkan dengkuran halus, tersenyum kecil, lalu diam lagi. Aku ikut tersenyum kecil melihat tingkahnya. Persis anak kecil. Tanpa sadar, tanganku bergerak mengusap rambut ikalnya yang dua hari lalu dicat coklat tua. Halus seperti bulu burung. Hatiku terloncat, cepat-cepat kutarik tanganku, dan beringsut turun dari tempat tidur, menuju kursi rotan di pinggir jendela.

Aku mengeluarkan rokok mildku, mengambilnya sebantang, sudah menaruhnya di sela bibir tapi segela kumasukkan lagi ke kotaknya. Har tidak suka asap rokok. Sebagai gantinya, aku membuka satu daun jendelanya. Angin dini hari menembusi celah kecil itu, membekukan wajahku. Segar. Tadi malam hujan. Mataku jadi terbuka dan pikiranku refresh.

Har curhat.
Sebelumnya, SMS putus asanya berkali-kali mampir ke cell phone yang sebenarnya sengaja ku silent karena aku mau konsentrasi mengerjakan tesis yang dikejar tenggat waktu. Tapi karena lama kelamaan aku menangkap nada memelas dari rentetan kata-katanya, aku menutup laptop dan segera meluncur ke rumah kontrakannya.
Sampai di pintunya, Har langsung menghambur ke pelukanku. Dia menangis seperti anak kecil, tidak sesuai dengan KTPnya yang mengatakan bahwa dia ada di awal kepala tiga. Kutuntun dia ke kursi, kuambilkan minum, dan dalam sesenggukannya dia bercerita.

"Bundaku minta aku menikah, Don," dia membesit ingusnya. Kuulurkan sekotak tissue.
"Ini sudah kali kelimapuluh sekian," dia mencoba menarik nafas, mengalahkan isakannya.
"Bunda nggak bilang sebabnya kenapa selalu minta aku nikah. Tapi aku tahu, Bunda sakit. kemarin Oom Rudi nggak sengaja keceplosan kalau dokter sudah vonis Bunda kanker mulut rahim stadium empat..." aku merangkulnya, menguatkan. Dia terguguk lagi. Har sangat menyayangi Bundanya, apalagi dia anak tunggal kesayangan Bundanya juga.
"Lalu, apa yang buat kamu bingung?" tanyaku halus. Har melirikku dari mata bengkaknya.
"Kok pakai nanya? Siapa yang mau sama aku, Don? Aku banci! Dan kurasa Bunda mulai tahu, makanya Bunda selalu bilang dia mau cucu dari aku..,"
"Banci? yang melabel dirimu ya kamu sendiri, Har sayang..," ujarku mencoba meredamnya.
"Bukan aku! Mereka!! Ketika aku mulai naksir cewek, mereka selalu menyingkir dan menertawaiku di belakang. Mereka bilang aku bencong..,"

Aku menarik nafas, dan menghembusknya perlahan. Bulan tertutup awan selapis, dan segera nampak lagi. Di ujung sana, terdengar degukan burung malam entah apa namanya.
Aku kenal Har tiga tahun yang lalu, di sebuah kafe lukisan. Aku sangat suka lukisan, dan sore itu aku terpaku di depan lukisan koleksi baru -dari pelukis baru pula. Joker, atas pria, bawah wanita. Hatiku tergetar. Karena ingin menikmatinya sedikit lebih lama, aku memesan black coffee dan duduk di meja seberang lukisan itu, sudut pandang yang oke sekali. Sedang termenung, sebuah suara bariton halus membuyarkan lamunanku. Dia ingin juga duduk di meja itu, jadi aku menyilahkan dia duduk di seberangku. Lalu, bersama, kami menikmati lukisan itu.
"Hidup, dan pilihan," celetuknya pendek setelah kami terdiam lama.
"Ya, dan kadang yang temaram selalu disangka buruk. Padahal itu yang sesuai dengan kita," balasku tanpa melepas pandang dari dinding.
"Orang memandang kita dengan standarnya, dan kita jadi terpaksa mengikuti tatanan sosial itu," dia menghela nafas berat.
"Padahal, beda bukan berarti berdosa," sambungku, mau menyalakan rokok tapi pria di depanku terbatuk halus. Aku mendongak memandangnya untuk pertama kalinya. Sepasang mata sayu dan dalam yang dinaungi alis tebal terangkat meminta maaf.
"Maaf, saya asma. Alergi asap," dia tersenyum rikuh lalu mengulurkan tangannya.
"Saya Harna Surya, panggil Har," aku meletakkan rokokku, menyambut tangannya.
"Donatilla, panggil Don,"

Menurutku, Har bukan banci. Dia laki-laki, namun lebih lembut. Sisi feminisnya lekat dan dia berdamai dengan itu, setelah puluhan tahun hidupnya. Dia pun masih tertarik dengan lawan jenisnya, dan tidak pernah berdandan perempuan. Once more, dia hanya lembut, itu saja. Namun lingkungannya kadang terlalu kejam dengannya, memberinya label yang membuat Har merasa berdosa karena bersikap feminin. Dia memang spend time lebih banyak di salon untuk merawat dirinya. Kuku, rambut, kulitnya. Dan kupikir, tidak ada yang salah dengan itu.
Perlahan, aku menoleh mencari kaca dan mendapati bayangan diriku terpantul. Kuelus rambut cepakku.

"Dona lesbi!!"
Terngiang teriakan Lia. Peristiwa itu sudah belasan tahun lewat, tapi rasanya masih segar. Aku masih ingat panasnya mukaku karena malu dan marah, cibiran teman-teman yang mengelilingi toilet wanita, mencegatku di pintu, dan pengadilan tak formal yang kudapat setelah itu.
Aku hanya ingin menolongnya menutup pintu WC yang terbuka karena kuncinya rusak.
"Dia mau mengintip saya Pak!! Dia mau memperkosa saya!!" jerit Lia histeris (what?? Memangnya aku punya penis?)
Padahal, Lia yang lesbi. Dia menyukaiku setahun ini tapi aku menolaknya secara halus. Tapi karena aku yang berpenampilan seperti laki-laki dan Lia seperti putri keraton, akulah yang dipersalahkan.
Kejadian itu membuatku menjadi-jadi. Aku semakin menyepi dalam duniaku. Merokok, minum, potong cepak, dan yang terakhir aku membeli motor cowok.

Tapi aku bukan lesbi. Aku menyukai Ryo, Luke, Vic, yang dibalas dengan cibiran.
"Aku bukan homo, tau," balas mereka. Aku terluka.
Karena itu, aku tahu perasaan Har. Untungnya, Mama tidak pernah memaksaku menikah.

Ada apa dengan dunia? Mereka memakai standarnya sendiri untuk menilai penghuninya, memakai standar 'yang paling sering muncul adalah yang normal'? Dan di luar itu namanya deviasi? Dianggap abnormal dan aneh? Padahal setiap manusia punya standarnya sendiri, yang membuatnya memutuskan hidupnya akan dibawa ke mana, seperti apa, dijalani dengan cara bagaimana, dan ada nilai sendiri yang dipatri di atasnya. Kadang nilai itu tidak sesuai dengan 'anutan umum' atau 'nilai sosial', dan kadang tidak ada tempat untuk keunikan itu.

Bulan masuk, dan semburat ufuk timur mulai tampak diiringi kokokan ayam terdengar samar.
Aku menegakkan punggungku. Mataku terasa panas, dan aku cepat-cepat mengerjapkannya. Sudah beberapa tahun Dona tidak menangis.
Aku beranjak dari kursi dan bersirobok dengan tatapan dalam Har. Dia sudah bangun.

"Hei, dah bangun?" sapaku, antara rikuh dan panik menyembunyikan airmataku. Har memaku pandangan tepat ke mataku. Kuduga, dia sudah beberapa saat terbangun.
"Nyenyak tidurnya?" tanyaku lagi, mencoba membuatnya buka suara. Dia mengangguk, tersenyum. Aku tertunduk, salah tingkah.
Jam berdetak.
"Don, sini..," dia mengulurkan tangannya, dan tangan satunya masih memeluk bantal. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Dia mengangkat tubuhnya, duduk di depanku. Ayam berkokok lagi, angin pagi menembusi jendela yang tadi belum kututup.
"Kamu cantik," senyumnya. Tangannya menelusuri pipiku. Aku memejamkan mata, dadaku berdebar sangat kencang, debaran yang akhir-akhir ini terasa jika bertemu Har.
"Aku lupa ucapkan satu hal tadi malam, keburu tidur karena kecapaian," Har menatapku lembut.
"Dan saat ini aku siap menerima konsekuensinya," lanjutnya. Aku menahan nafas.
"Donatilla..,"
"..aku jatuh cinta padamu. Mau menikah denganku?" aku terpaku.
"Karena Bundamu?" tanyaku bergetar. Dia menggeleng.
"Bunda hanya katalis supaya aku berani jujur ungkapkan rasaku. Aku sudah memendamnya tahunan ini, dan bagiku ini berat karena makin hari perasaan itu makin besar,"
Air mata mengalir menuruni pipiku. Debaran dadaku sekarang ditingkahi musik kecil dan kelegaan luar biasa, menghangatkan badanku.

Aku mengangkat wajah, menemukan keteduhan di kedalaman mata Har yang tanpa prasangka.
"....yes, I do," bisikku di sela hembusan angin pagi dan sinaran matahari.