Minggu, November 02, 2008

Mencintaimu, karena....(5)


Jadi, bagaimana perasaanku ke Julian?

Ah, kacau. Gara-gara percakapan tentang pengawas minum obat ARV kemarin, yang berbuntut aku berpikir 'bagaimana rasanya menjadi istri Odha -ralat- Julian', aku jadi salah tingkah sendiri. Dia hanya konsultan gratisku untuk program ini. yang berarti, setelah program selesai, hubungan kami selesai. Yang berarti, pembicaraan tidak penting di luar materi program berarti tidak profesional. Karena itu, kuputuskan untuk menjaga jarak lagi. Pertama, dengan memanggilnya 'Pak' lagi.

"Ada apa, Liv?" tanya Ju sedikit heran ketika aku menelponnya untuk rekomendasi pilihan keynote peaker untuk seminar HIV.
"Kok jadi Pak, manggilnya?" tanyanya geli. Aku mendesah tak sabar.
"Gak papa, jaga profesionalitas aja," jawabku ketus. Ju terdiam sejenak, agak kaget sepertinya.
"Memangnya, dengan kamu manggil aku Mas atau langsung nama, kita otomatis jadi nggak profesional?" dia membalik pernyataanku.
"Meminimalisasi rasa kurang profesional aja," jawabku sekenanya dan langsung pamit dengan ketus. Dan, seharian itu aku uring-uringan.
Di penghujung hari, aku sudah melukai hati semua rekan kantorku dengan perkataan kasar dan ketusku dengan alasan tidak jelas. Dan semua berpikir, saat itu aku sedang menstruasi. Bahkan, Agus menebakku sedang menjalani masa pre menopause. Sial..tapi terserah apa kata mereka!!

Yang penting, aku sedang kesal!!
Aku sedang gundah!!
Aku sedang mengingkari...
Mengingkari..
Mengingkari..

Apa, Liv?
Ketertarikanmu kepada Ju secara personal?

Nah, itu yang membuatku gundah. Sebenarnya aku tertarik pada Ju karena murni pribadinya atau karena status HIV nya -yang positif- yang malah membuatku semakin lekat?
Dia membalikkan ide dan bayanganku tentang profil seorang Odha yang tidak berdaya. Dia gambaran sosok Odha yang berdaya dan inspiratif. I'm captured. I get trapped. Oleh 'pesona' nya. Dan aku jadi gundah. rasa ini mau kubawa ke mana?

Beberapa hari aku tidak menghubungi Ju, dan dia menghubungiku lebih dahulu dalam seminggu ini. Lewat telepon.
"Ya, hallo," formal, karena yang terpampang di layar adalah nama asing. Aku tidak menyimpan nomer Ju -belum-, karena selama ini telpon kami dari kantor ke kantor.
"Liv," ujarnya singkat. Hatiku mencelos. Ju!
"Ya," balasku juga singkat, menutupi debaran hatiku.
"Gimana perkembangan progam untuk Hari AIDS mendatang?" aku terdiam sejenak.
"Baik, Pak," bertahan dalam profesionalisme tak jelas,"semua pembicara sudah dihubungi,"
"Untuk pembicara dari kepolisian tentang narkoba, sudah dapet?" tanyanya, seperti berusaha mengabaikan panggilan 'Pak' ku padanya.
"Hmm..sudah masuk sih suratnya, tapi konfirmasinya masih dua hari lagi,"
"Coba hubungi Pak Ritongga, Liv. Beliau Kasatserse untuk Narkoba. Aku kenal baik dengannya,"
"Okay, terimakasih, Pak," case closed. Kami sama-sama terdiam.
"Liv," akhirnya Ju bersuara.
"Ya, Pak?" jawabku.
"..aku kangen,"

Dan aku terpaku.

Tidak ada komentar: