Selasa, April 08, 2008

Gilaaa...

"Waaaaaa....," aku terlonjak mendengar teriakan itu. Bergegas aku berlari masuk ke kamar Tyo, mencari apa gerangan yang membuatnya berteriak sedemikian keras. Di kamar, aku mendapati Tyo menutupi kepalanya dengan bantal, dan berteriak di dalam kapuknya. Kusentak bantal yang menutupi mukanya.
"Heh, dodol, ngapain sih kamu teriak gitu? Ngagetin orang, tau!" gerutuku. Bukan apa-apa, yang pertama aku kuatir adalah, lokasi kost Tyo ini bersebelahan dengan rumah pak RT. Dan tadi waktu aku memarkir mobil dan keluar menuju kamar Tyo, ada bu RT di depan rumah -sedang menyapu- dan aku bersapa dengannya. Itu berarti, orang sebelah kost tahu siapa yang di sini. Kalau tiba-tiba Tyo berteriak seperti itu, mereka pasti berpikir bahwa aku yang ngapa-ngapain Tyo. Pencemaran nama baik untukku.
"Waa..," teriakannya terputus setelah menyadari di mukanya tidak ada peredam lagi. Lalu dia nyengir lebar. Dengan sebal, kulemparkan bantal ke mukanya lalu beranjak menuju pintu, mau pulang.
"Eit eit...Shan, tunggu.. aku cuma becanda kok teriaknya..," Tyo bangkit dari tempat tidurnya dan menahan tanganku. Aku merengut.
"Becandanya gak tepat, tau. Lagi mikir nih," ujarku galak.
"Mikir? Mikirin aku kan? Kan? Kan?" paksanya kocak. Aku semakin merengut. Sebenarnya untuk menyembunyikan senyumku melihat tampang memelasnya.
"Iya jelas, mikirin gimana cara nolak kamu. Udah ngotot, maksa, idup, lagi,"
Tyo terkekeh.
"Shani sayang.. jadi pusing kan mikirin itu? Makanya nggak usah dipikirin deh.. Terima saja aku..," aku memutar badan, menghadapinya.
"Jangan bercanda lagi deh, Yo! Aku nggak mau kamu isengin lagi. Cape, tau!"
"Siapa yang bercanda?"
"Ya kamu! Buat apa bilang 'aku cinta kamu', 'mau jadi suamimu' seperti itu? Bukan candaan yang bagus, tau!"
"Siapa yang bercanda?"
"Ya kamu!"
"Kata siapa aku bercanda?"
"Kata....,"
Kalimat itu menggantung di udara antara wajahku dan wajahnya. Tyo menyeka mataku dengan sayang. Wah, tanpa sadar aku menangis. Mendapat sentuhan tangannya, tangisku malah menjadi. Sial..
Tyo menarik kepalaku ke dadanya. Sesaat aku memuaskan isakanku.
"Siapa yang bercanda, Shani? Kamu tahu, aku mengatakan itu lebih dari seratus kali untuk meyakinkanmu. Tapi kamu yang membentengi dirimu dengan berusaha mempercayai kebohongan yang kauciptakan sendiri bahwa omonganku itu canda. Padahal aku sudah meyakinkan berkali-kali kan?" ujarnya lembut.
"Harus dengan cara apalagi Shani?" aku semakin terisak.
"Ya..tapi..tapi.. masa kamu serius?" tanyaku terbata.
"Kenapa nggak?"
"Kok kenapa? Ya karena..karena..," aku menarik ingusku.
"..karena aku positif, mantan junkie..orang tua mana yang mau aku jadi menantunya? Cowok mana yang mau aku jadi istrinya?"
"..orangtuaku. Dan cowok itu, aku," sahutnya tegas. Huuuu..uuhh.. aku menangis makin keras.
"Hussh..sayang, kalau kamu nangis begini kok kayak cewek beneran ya?" goda Tyo sambil mengelus punggungku dengan sayang. Aku terpaksa tertawa. Ya, aku jarang sekali nangis. Bahkan dulu waktu didiagnosis HIV positif aku nggak menangis. Aku menangis karena ibu pingsan mendengarnya, lima tahun lalu.
Beberapa saat, isakanku mereda. Tyo mengambilkan segelas air.

"Kenapa kamu memilihku? Kamu cakep, negatif, insinyur, dan banyak cewek mau sama kamu. Kenapa aku?"
"Karena kamu cantik, positif, psikolog, banyak cowok mau sama kamu..," dia mengecup keningku.
"Karena kamu Shani. Shani yang luar biasa. Positif HIV dan positif banyak hal. Itu sudah cukup untuk membuatku jatuh cinta sejak pertama kali ketemu,"
"Tapi bersamaku kamu akan repot..untuk punya anak pun kita harus atur..," ujarku masih agak terbata.
"Buat apa aku ikut pelatihan HIV/AIDS kalau untuk itu pun aku harus keberatan? Dan anak bagiku nomer dua. Nomer satu adalah kamu, kamu, dan kamu," dia mendekati wajahku.
"Aku mau mendampingimu di sepanjang hidupku. Apapun risikonya. Kubeli satu truk kondom kalau perlu," aku tersenyum, dan Tyo mencium senyumku.
"Jadi..," godanya
"..apa jawabannya, Shani?"
Aku berpikir.
"Jawabannya...,"
"Kamu gilaaa, tau!!!" Tyo gantian merengut, lalu merengkuh pipiku.
"Jawab yang bener...," desisnya sok galak, dua sentimeter di depan mataku.
"Iya deh..mau..mau..aku mau nikah sama kamu, mau banget malah..," jawabku akhirnya.
Tyo bersorak, tertawa kegirangan dan menghujaniku dengan ciumannya.

Ah, untung aku menemukan satu orang gila di dunia ini... terimakasih Tuhan!

Tidak ada komentar: